KESAKSIAN RAYAB
Aku rayab, hidup jutaan musim dibalik gurat-gurat kayu podium, dibangun dengan ukiran ayat-ayat suci. Setiap saat di podium ini aku mencium wewangian khas orang-orang penting. Yang ulama, yang ustadz, yang kyai, tokoh pemerintah, tokoh politik, juga aroma anak-anak bermain meniru perilaku tokoh-tokoh penting itu di podium.
Aku rayab, mendengar setiap kata yang keluar dari sekian mulut orang-orang besar tentang rembulan, matahari, air, tanah, udara dirangkai kembang-kembang ayat suci dan bunga-bunga kalimat tokoh sejarah.
Kebohongan menggerogoti dinding-dinding ruangan tempat podium itu bersemedi. Ribuan kepala setiap saat tertipu hatinya dalam hikmat mendengarkan gumam kata yang meluncur membawa rembulan, matahari, tanah, air dan udara disulam benang suci di atas kain tokoh sejarah. Ribuan jiwa tertindih beban kekalahan tak disadari: mereka kehilangan kunci rumah sejarah al-Mustafa agung.
Tokoh-tokoh itu memoles bibirnya dengan gincu ayat-ayat suci dan kisah-kisah sejati, adalah pedagang miskin yang mencuri sesobek  jubah Muhammad untuk dijual disetiap podium. Aku mengatakan ini sebab aku juga rayab, yang hidup diserat-serat kayu lemari hati jutaan musim.
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H