Gemerincingnya memecah hening malam bisu diterkam gelap. Membangunkan serentang rindu yang menggelantung, menggamit hasrat berjumpa kekasih. Jemari-jemari menari melagukan pujian pada keindahan tak terjamah, mata redup ditingkahi sendu wajah jelita yang hadir seketika, dalam cawan hati meluap busa doa-doa. waktu meleleh tak tertampung di bibir kesadaran yang mulai mabuk.
Gemerincing tasbih kini terpencil di dalam lipatan-lipatan zaman, diganti kerlap kerlip kunang-kunang listrik berjejer bergumam, cahayanya menghibur totem pada malam saat keramat abad  dihadirkan di setiap etalase hati manusia.
Tasbih zaman berlari sepanjang lorong-lorong angker sunyi belantara sepi, diantara huruf-huruf gagab sejarah, ketika menyebut Nama Agung yang memberi tanda kehadiranNya disetiap kedipan mata.
Tasbih bersembunyi dibalik detak-detak jantung kehidupan, gemerincingnya menyahut setiap rindu yang dikirim dalam kado dosa berwarna jingga.
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H