Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Nyanyian Lirih 1001 Malam

13 April 2022   13:50 Diperbarui: 13 April 2022   15:18 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gumpal asap, teriakan bom dan bau mesiu warnai langit dan bumi negeri seribu sumur minyak. Negeri yang tergeletak seperti gelandangan terbuang di panggung abad. Segerombolan perampok bertopeng hitam melewati teluk perbatasan, melepaskan peluru, bom dan roket pemusnah ke setiap sudut negeri. (Awan duka mengarak air mata menuju setiap kalbu)

Kepul api ladang-ladang minyak, gemuruh suara tank dan desingan amunisi penuhi udara negeri seribu satu duri. Negeri terlentang tak berdaya di tengah trik nafsu abad. Sekumpulan preman berikat kepala merah melampaui derajat kebuasan anjing liar menyerbu bangkai-bangkai yang tersimpan  di penjuru negeri. (Badai amarah menyeruak dalam jiwa malam yang hening).

Peti jenazah peradaban diarak berkeliling dunia; sebuah kematian yang diawali jerit ketakberdayaan. Tirani menancapkan kuku-kukunya sedalam akar pohon kurma yang berdarah di negeri seribu satu pilu. Warna padang pasir padam tercampur darah dan air mata, mengalir entah sampai kapan. Musim diam seribu bunyi, dan bulan sabit tidak akan purnama. 

Malam begitu  pekat menyayat jiwa yang bayi, sebab siang menyembunyikan  kepastian nasib dibalik reruntuhan istana sejarah yang diperebutkan nafsu. (Burung nazar berpesta menikmati bangkai dipelupuk awan hitam berbau dendam).

Ribuan orang menjadi pengungsi, meninggalkan nyanyian puisi di tanah kelahiran, menyimpan kenangan bunga-bunga kesatria yang tumbuh di medan suci. Kenangan lembah-lembah hijau yang disuburi ilalang pengetahuan selama berabad-abad pada waktu yang terkunci didalam museum nostalgia. 

Pengungsi berarak bergerak seperti barisan unta kelaparan di gurun pasir terbakar matahari. Diantar ribuan mata dari seluruh penjuru benua yang bisu, berpindah dari bunker-bunker derita menuju oase penuh belukar ketidakpastian hidup. (Angin  gurun bertiup lirih menyanyikan duka yang nyata, menghempaskan  harapan jiwa pada lipatan-lipatan kepedihan).

Anak-anak kehilangan bunda tempat asa mengadu, ibu-ibu kehilangan anak-anak tempat jiwa merangkul bahagia dan ayah tak lagi berarti, sebab rumah ketenteraman hanyut bersama denyut kematian, yang berlangsung setiap azan selesai dikumandangkan. 

Deru peperangan liar terus mabuk meluluhlantakkan masa depan yang terbersit dari jemari yang mengokang senapan. Penyesalan tertimbun kebiadaban yang menyala setelah penandatanganan kesepakatan untuk membunuh. Peperangan diabadikan dalam bilik jiwa para pecundang. (Miris desah yang meriak dari lorong-lorong kota yang sunyi dan suram sudah, setiap pandangan menjadi saksi atas luka zaman)

Negeri seribu satu malam hanya mampu menyanyi lirih bersama irama peperangan anak-anak manusia yang tahu arti sepenggal cinta. Sendu sajak-sajaknya melantunkan bait-bait mesopotamia yang terbuang. Dan ritme kepiluan dinasti yang telah melahirkan decak kagum sepanjang abad.

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun