Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Zaman Tanpa Pesona Kesucian

3 April 2022   16:32 Diperbarui: 3 April 2022   16:34 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ZAMAN TANPA PESONA KESUCIAN

Aku orang tua cemas, saksikan anak gadisnya ditelanjangi tangan zaman. Anak-anakku berjalan tanpa rasa salah, kemana-mana tanpa busana. Zaman kehilangan mata hati, peristiwa mengalir dari sungai nafsu meluap-luap. Cawan hati dunia kosong anggur yang dipetik dari ladang-ladang kitab suci. Etalase peradaban ditumbuhi kembang-kembang plastik tanpa akar, tanpa matahari pagi, tanpa air. Anak-anakku bergerak ke sana, seperti laron mengerumun cahaya semu malam hari. Indah dunia gemerlap menyilaukan jiwa yang ranum: sebuah generasi tertipu logika zaman instant, berjalan dengan mata gamang dan kalah.

Aku orang tua cemas, saksi anak zaman berlomba pajang aurat di sudut-sudut swalayan sejarah, tempat harga diri digadai dan hasrat kemanusiaan diperjualbelikan. Selembar aurat dipertontonkan atas nama kemewahan  masa kini, dan sehelai aurat ditawarkan untuk memastikan masa depan. Nasib generasi kini adalah ceceran aurat dihamparan panggung drama modern, diperdagangkan zaman yang hilang daya pesona kesucian.

Aku orang tua, saksi atas generasi bunga muda yang layu sebelum kesempurnaan sejati menghampiri kelopaknya, memberi warna keindahan khas generasi yang mekar dari siraman kalimat-kalimat suci. Menyaksikan generasi diombang-ambing gelombang zaman. Zaman yang dipoles tangan-tangan bimbang tentang yang Sejati. Zaman dipenuhi nafas keraguan kerja manusia gamang akan dirinya sendiri. Zaman ragu, anak-anakku hidup dalam pasungan ketidakmengertian.

Aku sudah tua, kecemasanku bungkuk tertatih-tatih. Zaman melaju terus memastikan kebodohannya. Anak-anakku tetap setia dibelakangnya sebagai bayangan bisu.

Aku telah tua menyaksikan kecemasanku sendiri. Dunia tertawa, memadangku seorang tawanan terkulai di balik jeruji ketidaksanggupan, mendekap rasa salah yang sia-sia. Zaman juga menelanjangiku dalam kekalahan melawan seram dan ganasanya.

Aku orang tua yang segera mati setelah urat malu putus tidak lagi bisa tersambung. Tanganku tergeletak letih menanggung derita malu sekejab. Malu menumpuk  selama jutaan purnama pada zaman yang tanpa rasa berdosa ini.

 

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun