[caption id="attachment_55544" align="alignleft" width="250" caption="sumber : Media Indonesia.com"][/caption]
“…Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa..” Demikian selarik kalimat yang mutlak diperdengarkan oleh Majelis Hakim tatkala mereka membacakan putusannya pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Konon, menurut para praktisi hokum, pada kalimat tersebut letak kekuatan eksekutorial sebuah putusan. Ini berarti bahwa sebuah putusan yang tidak memuatnya tidak dapat di-jalan (eksekusi)-kan.
Masih semulia itu, yakni kalimat “Demi Keadilan” dan ”pro justitia” pun terdapat pada kepala surat dari kepolisian dan kejaksaan. Lantas advokat atau pengacara mengklaim diri sebagai “profesi terhormat” (officium nobile).
Tak dimungkiri bahwa kerja penegakan hokum adalah tugas mulia dan penting bagi jalannya sebuah kehidupan. Seseorang hanya dapat berintekasi dengan orang lain dengan baik mana-kala interaksi yang akan dilakukan itu telah terformat ke dalam sebuah kaidah. Entah itu norma agama, kesusilaan, etika atau pun hokum. Dan rasanya mustahil dapat dilakukan tanpa ada pengaturan. Maka tak mengherankan jika berlaku sebuah adagium yang menyatakan bahwa “jika terdapat dua orang, maka di situ terdapat hokum”. Oleh karena itu, menegakkan hokum adalah tugas mulia yang menjadi pilar berdirinya sebuah bangunan yang bernama masyarakat.
Kata “demi” pada kepala surat tersebut di atas, menurut imajinasi saya, bermakna bahwa tiada yang lain selain hokum yang harus tegak menjadi motivasi dari para penegak hokum ketika mereka melaksanakan tugasnya. Apalagi keadilan yang akan ditegakan itu telah mengatas-namakan Ketuhan Yang Maha Esa. Yang berarti hakim pada saat memeriksa, mengadili dan memutuskan sebuah persoalan secara sadar telah mengetahui bahwa Ia tengah menjalankan amanah Tuhan. Karena itu ada sebuah kredo yang menyatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di dunia dalam menegakkan keadilan. Dan saya kira polisi, jaksa dan pengacara pun demikian adanya serta berlaku secara universal.
Tapi semua itu masih berada pada dunia cita, belum tentu demikian dalam kenyataannya. Di Indonesia boleh di kata, “masih terlalu jauh panggang dari api”. Penegakan hokum masih dilanda virus korup yang dinjeksikan sendirioleh aparatnya. Mereka itulah yang kini disebut “mafia hokum” atau “mafia peradilan”. Siapa lagi yang mengetahui celah yang dapat dilalui selain mereka. Sudah barang tentu mereka bekerja dengan menyunggih panji para pemesannya. Apa yang didapatkan dengan semua itu? Hanya merekalah yang tahu.
Selama ini aksi mereka itu bagai kentut. Busuknya menyengat namun tak dapat dibuktikan operandinya. Memang telah dibentuk lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum baik internal maupun eksternal seperti misalnya, komisi yudisial, komisi kepolisian dll. Namun seakan lembaga tersebut tidak mampu untuk mencegahnya. Apa penyebabnya? Masih perlu pendalaman! Mungkin wewenang yang diberikan khususnya bagi lembaga eksternal amat terbatas, konon hanya sekadar pemberian rekomendasi.
Ketidak-mampuan tersebut seakan menjadikan perilaku korup itu selama ini hanya sebatas fiksi yang berkisah tentang pemerasan para pencari keadilan atau gratifikasi, hingga terkuaknya kasus kriminalisasi KPK dan percobaan penyuapan oleh Anggoda (eh…sorry Anggodo). Atas semua itu, maka mafia hukum kini berubah jadi realitas yang sudah terjadi pada tingkatan yang beraksi pada level yang amat tinggi. Amat memprihatinkan.
Karena itu pengamputasian virus korup itu patut mendapat dukungan oleh semua pihak. Dan saya kira pembentukan Satgas Mafia Hukum (SHM) merupakan kredit poin yang baik untuk kinerja 100 hari pertama pemerintahan SBY. Dan SMH telah membuktikan bahwa mereka tidak bermain-main dalam mengemban tugasnya, menguak sel V-VIP di Lapas Pondok Bambu adalah buktinya. Olehnya itu, “selamat” saya ucapkan kepadanya. Tentu disertai harapan, agar SHM mengendus pula perilaku aparat pada lembaga hokum yang lain. Sebab sesungguhnya, Lapas hanyalah ujung (akhir) dari jejaring mafia hokum. Olehnya itu, ICW pada running teks yang dimuat oleh TV One semalam kurang-lebih mengatakan bahwa ”Lapas Pondok Bambu merupakan pintu masuk satgas mafia hokum”.
Dengan menilisik pada kenyataan pahit atas kondisi penegakan hokum di Indonesia dan fungsi hokum itu sendiri, maka perbaikannya merupakan tugas yang amat berat. Tapi sayangnya, amanah tersebut dijalankan oleh sebuah lembaga berbentuk satuan tugas (SHM) dan bekerja hanya dalam limit2 tahun tanpa disertai wewenang yang lebih selain membangun sistem pencegahan, misalnya wewenang penindakan atau mengawal temuan. Penindakan masih merupakan wewenang lembaga lain, demikian kata Kuntoro Mangkusubroto pada AntaraNews, 4 Januari 2010.
Kalau kita mau jujur, lembaga yang sudah ada termasuk komisi-komisi itu sudah pernah diamanahkan untuk melakukan tugas seperti yang kini diemban oleh SHM tapi tak pernah terdengar hasil kerjanya. Bahkan hingga saat ini, para Mafioso Hukum itu masih menjalankan aksinya. Sudah tentu pula dengan pengungkapan kasus sel V-VIP itu kini mereka lebih berhati-hati.
Oleh karena itu, biarlah lembaga tersebut melakukan tugas utamanya yakni menegakkan hukum dengan sebuah lembaga independen yang melakukan pengawasan atas kinerja aparatnya. Mirip Bawaslu yang mengawasi pelaksanaan kinerja KPU hingga ke kelurahan/desa. Ini berarti bahwa SHM bukan hanya melakukan pencegahan tapi juga pengawasan serta penindakan. Dengan demikian kredibiltas penegakan hokum di Indonesia nantinya lebih dapat dipertanggung-jawabkan.
Memang terasa aneh, sebab mungkin di Negara lain tidak ada lembaga yang seperti itu. Tapi saya teringat dengan Von Savigny yang mengatakan bahwa hokum merupakan realitas yang terjadi dalam masyarakatnya. Kondisi penegakan hukum di negeri kita masih membutuhkan kedisiplinan aparatnya pada sendi-sendi hukum itu sendiri.
wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H