Mohon tunggu...
Syafruddin dJalal
Syafruddin dJalal Mohon Tunggu... profesional -

bagi Kompasianer yang satu ini, hanya ada satu Indonesia yakni Indonesianya, Indonesia Anda dan Indonesia kita. Mengapa harus berbeda tegasnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Macan Ompong”, Pelindung Whistle Blower di Indonesia

26 Maret 2010   23:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="460" caption="ilustrasi, sumber : google "][/caption]

"Malas ah ... jadi saksi". Bukan mustahil, kengganan seperti itu akan merebak di tengah masyarakat kendati pelapor (whistle blower) kini telah dilindungi oleh UU No.13 Tahun 2006.

Hal di atas hanyalah akibat dari sebuah kondisi yang tidak mendatangkan rasa aman bagi whistle blower ( wb). Semua itu kian teguh jika tidak disertai dengan "insentif" seperti pernah digagas oleh Asmar Oemar Saleh (klik disini). Padahal wb amat dibutuhkan dalam menguak tabir kejahatn yang secara rapih dilakukan dalam sebuah lembaga. Katakanlah kasus KKN, pencucian uang dan yang paling heboh saat ini, Mafia Hukum

Mungkin belum lekang dalam ingatan kita akan udhin (wartawan) yang gugur di tengah upayanya membongkar kasus korupsi. Demikian pula dengan Endin Wahyudin yang melaporkan praktek a la "mafioso" yang dilakukan oleh hakim agung. Endin, dipidana karena melakukan pencemaran nama baik. Sementara terlapor  bebas berkeliaran. Kedua contoh kasus ini terjadi pada saat UU perlindungan saksi belum dilahirkan dan Endin tidak memiliki ‘kekuatan' untuk menghadapi ancaman.

Tapi bagai-mana dengan Susno Duaji yang saat ini melaporkan dugaan praktek kotor di Mabes? Latar-belakangnya sebagai jendral polisi tentu akan menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi ancaman. Kalkulasi tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan, sebab tentu Ia amat paham soal penegakan hukum dan tehnis penyidikan. Tapi, rumors yang merebak bahwa beliau akan dipidanakan dengan sangkaan "pencemaran nama baik" seakan  menafikkan semua itu.

Jika hal tersebut bukan sekadar rumors makaapa yang menimpanya mirip Endin Wahyudin. Ketika itu penasihat hukum Endin -dalam eksepsinya- menilai dakwaan penuntut umum "prematur", karena perkara korupsi yang dilaporkan oleh Endin kepada Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), belum diperkarakan. Seharusnya Endin tidak bisa diadili sebelum kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilaporkannya terungkap (Tempo Interkatif. 21 Mei 2001). Tapi hakim tetap menolak. Tapi sekali lagi, UU perlindangan saksi belum lahir ketika itu seperti saat ini.

Dalam hubungan itu, maka rumors tersebut adalah ironi yang memilukan sekaligus "momok" bagi Satgas Mafia Hukum (SHM) . Sebab Susno Duaji adalah wb dalam skandal rekening Gayus Tambunan sehingga dalam perspektif UU No.13 tahun 2006 Ia berhak memperloeh ‘keistimewaan' berupa "imunitas". Pasal 10 ayat 1 UU No.13 Tahun 2006 telah menegaskan seorang wb tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata atas laporannya dengan catatan ia bukan pelaku. Bahkan jika pun terkait, maka kedudukannya itu menjadi hal yang patut dipertimbangkan.

Memang begitu besar apresiasi yang diberikan terhadap wh dan itu berlangsung dimana pun. Di Amerika misalnya, dilahirkan Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang terjadi. Terlebih lagi di Korsel, seorang wb akan reward US$ 2 juta. Tak hanya itu, wb pun dijamin tak akan diberhentikan dari pekerjaan dan memperoleh perlindungan khusus bila ada ancaman.

Sekali lagi, semua itu wajar sebab bukan perkara mudah untuk "buka mulut". Penuh ancaman tapi amat dibutuhkan. Apalagi harus melaporkan Mafioso hukum, ia akan menghadapi begundal yang memiliki kuasa untuk menjobloskan dirinya ke dalam tahananan 

Atas dasar semua itu dan mengacu pada semangat pemberantasan KKN dan mafia hukum di Indonesia, maka mestinya Susno tidak bisa dijadikan tersangka. Bukankah pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 UU No.13 Tahun 2006 telah menegaskannya. Memang ayat 3-nya memungkinkan hak tersebut dieliminasi jika pelapor memberi keterangannya dengan tidak beritikad baik antara lain dengan memberi keterangan palsu, sumpah palsu dan permufakatan jahat. Tapi untuk kasus Susno Duaji, anasir yang mengeliminasi itu belum bisa dibuktikan. Mereka yang melaporkan Susno itu, belum menunjukkannya. Laporan Susno saja, baru dalam tahap pendalaman oleh SMH.

Akhirnya, laporan Susno tentang praktik Mafioso di Mabes Polri kepada SMH jadi bahan evaluasi guna menakar seberapa kuat kemauan pemerintah untuk memberi perlindungan kepada saksi. UU bukanlah mesin yang dapat berjalan secara otomatis. Saya teringat  akan apa yang dinyatakan oleh Zainal Abidin Farid (Guru Besar Hukum Pidana - UNHAS). "Jika saya disuruh memilih antara hukum baik dengan pelaksanaan buruk atau hukum buruk dengan pelaksanaan baik, maka saya akan memilih hukum buruk dengan pelaksanaan baik". Ini merupakan gambaran betapa dibutuhkannya kemauan yang kuat untuk menegakkan sebuah aturan. "Kemauan" di sini tentu mencakupi pula integritas dan kebaikan moral penegaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun