Mohon tunggu...
Syafruddin dJalal
Syafruddin dJalal Mohon Tunggu... profesional -

bagi Kompasianer yang satu ini, hanya ada satu Indonesia yakni Indonesianya, Indonesia Anda dan Indonesia kita. Mengapa harus berbeda tegasnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aditjondro Mestinya Meneladani Kho Ping Ho

2 Januari 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_47057" align="alignleft" width="109" caption="salah satu karya kho ping ho"][/caption]

22 Juli 1994. Asmaraman.S.Kho Ping Ho wafat. Meninggalkan begitu banyak cerita silat yang umumnya berlatar-belakang negeri Tiongkok jaman kedinastian. Bagi saya, ceritanya bukan saja menarik lantaran tegang tapi juga karena dibumbuhi oleh semangat patriotisme dari para ksatriah yang menjadi tokoh sentralnya. Semangat mana kita butuhkan dalam berIndonesia terutama pasca pelaksanaan Pemilu.

Pemilu sudah lama selesai, calon terpilih telah ditetapkan (anggota DPR/D, DPD dan President). Bahkan MK sudah lama memutuskan sengketa hasil pemilu. Tapi, masih saja terus dipersoalkan. Salah satunya, oleh GJA melalui “Membongkar Gurita Cikeas” (Nurtjahjadi, KOMPASiana, 2 Januari 2010).

Saya sepakat bahwa pelaksanaan agenda nasional tersebut harus berkualitas, dalam arti prosesnya mesti berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Adalah hal yang wajar jika terjadi perbedaan dalam menakar sejauh-mana rambu-rambu tersebut diindahkan. Dalam proses tersebut, tentulah subjektifitas akan menyertainya. Karena itu diperlukan wadah untuk menengahi perbedaan seperti itu, yakni badan peradilan in-casu MK. Dan sekali lagi, MK telah memutus seluruh sengketa hasil pemilu. Mengapa tidak diterima? Kurang percayakah? Lantas lembaga mana lagi yang kita percaya dan akan kita gunakan untuk menguji perbedaan tersebut? Saya kira sudah tak ada lagi!

Pemilu sesungguhnya di mata saya tak lain adalah arena pertandingan yang memperebutkan tropi berupa kekuasaan rakyat. Yang namanya pertandingan, sudah pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Dan mustahil rasanya terdapat lebih dari satu pemenang. Untuk itu diperlukan sikap kstariah dari mereka yang bertanding itu seperti yang dimiliki oleh para tokoh sentral dalam cerita silat Kho Ping Ho. Yang dalam konteks Pemilu berwujud “siap menang dan siap kalah”.

Dengan begitu kalaulah hasilnya belum sempat memuaskan seluruh pihak, jangan lagi bermanuver yang pada akhirnya meresahkan pemilik tropi  (rakyat) Masih banyak hal yang lebih penting dari sekadar kekuasaan yang telah diperebutkan  yakni stabilitas.

Kondisi aman dan damai amat kita butuhkan dalam membangun negeri ini, masih banyak saudara kita yang hidup dalam lingkar kemiskinan. Marilah kita bersedekah cukup dengan menciptakan kedamain bagi negeri ini, seperti kata pepatah, “Jangan beri ikan tapi berilah kail”. Saya kira inilah bentuk patriotisme yang saat ini kita butuhkan yakni jiwa ksatriah untuk menerima kekalahan.

Wassalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun