Mohon tunggu...
Syafruddin dJalal
Syafruddin dJalal Mohon Tunggu... profesional -

bagi Kompasianer yang satu ini, hanya ada satu Indonesia yakni Indonesianya, Indonesia Anda dan Indonesia kita. Mengapa harus berbeda tegasnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Miranda Rule, Akankah Seutuhnya Terwujud?

7 Juli 2017   14:41 Diperbarui: 9 Juli 2017   20:23 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arturo Miranda adalah legenda dalam penegakan hukum. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang papah yang hidup terlunta di Arizona (USA). Namun kematiannya justru jadi pelecut lahirnya sebuah hak. Mungkin untuk mengenang dirinya, hak konstitusional itu diberi nama "Miranda Rule"

Bermula dari sebuah perkara antara MIRANDA versus ARIZONA pada Tahun 1963. Kala itu pemuda yang tak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya ini dituduh melakukan kejahatan serius. Awalnya Miranda menyangkal telah melakukan penculikan dan pemerkosaan. Namun akhirnya penyidik keluar dari ruang introgasi dengan membawa secarik kertas berisi pengakuan. Dia tak tahu bahwa segala yang telah diucapkan dapat digunakan untuk melawan dirinya

Dalam persidangan tersingkap musabab pengakuannya, yakni diberi dalam keadaan tertekan dan tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Kendati demikian Miranda tetap dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan tingkat pertama. Tetapi pengadilan pada tingkat selanjutnya memutuskan penundaan hukuman bagi Miranda

Persoalan hukum lain pun selanjutnya terus menderanya. Hingga suatu ketika Miranda meregang nyawa pada usia 34 Tahun karena perkelahian dalam sebuah bar. Si Penikam  walau menjalani proses hukum tetapi akhirnya dibebaskan karena menggunakan hak diam. Putusan tersebut seakan menohok publik Arizona sehingga melahirkan perdebatan panjang yang berujung pada lahirnya hak di atas. Kemudian Miranda Rule merebak hingga menjadi prinsip dalam penegakan hukum yang berlaku di berbagai negara

Sepenggal dari prinsip hukum itu pun terdapat dalam hukum positif kita. Hak yang dimaksud yakni "Bantuan Hukum" yang terdapat dalam pasal 56 KUHAP serta UU Nomor 39 1999 Tentang Hak Asazi Manusia. Bahkan dalam kondisi tertentu hak tersebut merupakan kewajiban bagi negara yang pemberiannya dilakukan melalui institusi tempat dimana seseorang tengah menjalani proses hukum. Tanpa pemenuhannya maka proses tersebut menjadi tidak sah

Setiap orang yang diduga melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun atau lebih wajib didampingi oleh penasihat hukum. Jika ia tak mampu untuk itu, maka instansi tempat dimana terduga menjalani proses hukum wajib menyediakan penasihat hukum bagi Si Terduga  

Tidak dinafikan bahwa pemerintahan di era SBY telah membuka akses bagi masyarakat kurang mampu untuk memperoleh bantuan hukum melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Meskipun anggaran yang dikucurkan cukup besar namun dalam praktek, akses ini masih terasa bagai jaminan di atas kertas saja. Hal tersebut terutama dirasakan oleh kalangan kurang mampu di daerah yang belum terdapat lembaga yang menjalin kemitraan dengan pengadilan. Sebab layanan ini hanya boleh dijalankan oleh advokat piket yang berasal dari lembaga yang telah bermitra itu. Kesan itu tercipta bukan atas kehendak personal dari penegak hukum tetapi keharusan regulasi yang mengaturnya yakni SEMA No 10 Tahun 2010

Persolan kemudian mendirikan lembaga seperti itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Beberapa persyaratan harus dipenuhi serta melalui prosedur yang panjang. Jadinya lebih berkesan penghamburan 'energi' dilakukan oleh seorang advokat untuk melayani kalangan tidak mampu (miranda). Sehingga formalitas itu malah jadi penghambat utama bagi pemberian bantuan hukum secara prodeo. Karenanya  tidak mengherankan mana-kala pemanfaatan anggaran Posbakum sebagai-mana dilansir oleh Hukum on Line hanya digunakan sebesar 30 % saja pada Tahun 2013

Advokat selaku bahagian dari criminal justice system pun memikul tanggung-jawab untuk memberi bantuan hukum. Apalagi telah ditegaskan dalam Kode Etiknya bahwa seorang advokat tidak boleh menolak memberi bantuan hukum kepada mereka yang membutuhkan dengan alasan biaya. Sebab advokat adalah profesi terhormat yang menjalankan tugas kemanusiaan untuk menegakkan hukum bukan sarana guna menumpuk harta. Dalam perspektif itu, merupakan pelanggaran etika dilakukan oleh seorang advokat bila penegak hukum lain telah meminta dirinya untuk memberi bantuan hukum tetapi menolak tanpa disertai alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan

Nilai etik di atas seharusnya dijadikan pintu masuk oleh para penegak hukum untuk menerobos kebuntuan dalam menegakkan pasal 56 KUHAP yang selama ini dirasakan oleh para  "miranda". Sehingga tanpa mesti memenuhi prosedur formal sebagai-mana diharuskan oleh kedua regulasi di atas, maka seorang advokat wajib memberi bantuannya jika diminta. Dan litigasi sudah dapat dijalankan sedari awal proses hukum bukan hanya dalam persidangan saja. Mereka yang mendapat layanan secara prodeo itu cukup membuktikan ketidak-mampuannya (peraturan Peradi Nomor 1 tahun 2010)

Bisa saja seorang advokat berinisiatif untuk membantu para "miranda" namun tetap akan terkendala pada soal yang bersifat tehnis-opersional. Dan itu adalah hal yang manusiawi, katakanlah biaya yang harus dia keluarkan untuk menjalankan tugasnya. Sementara meminta biaya kepada para "miranda" adalah pelanggaran keras terhadap kode etik. Beda halnya dengan advokat piket, segala biaya yang dibutuhkan olehnya untuk menunaikan tugasnya dibebankan kepada negara

Satu hal yang pasti dalam kondisi tertentu kehadiran seorang penasihat hukum menjadi syarat mutlak bagi keabsahan sebuah proses hukum. Sebaliknya menunjuk seorang penasihat hukum non advokat piket untuk mendampingi seorang "miranda" tidak mengakibatkan proses hukum menjadi tidak sah. Dalam konteks itu maka mendeskresikan pelaksanaan layanan bantuan hukum kepada para "miranda" dengan mengacu pada kode etik advokat adalah sebuah keniscayaan. Tentu dengan catatan bahwa di daerah tersebut kurang cukup terdapat advokat piket

Tanpa keberanian seperti di atas maka pada akhirnya pasal 56 KUHAP sebagai cerminan dari miranda warning masih berjalan tertatih pada labirin formalitas birokrasi penegakan hukum yang teramat menjemukan. Agaknya ini yang harus dibenahi oleh pemerintahan Jokowi--JK di jelang akhir masa baktinya sehingga tagline "ERA BARU, HARAPAN BARU" bukan sekedar lipservice.  Sebuah Tagline yang dahulu  digemborkan ketika berkampanye

Wassalam  


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun