Mohon tunggu...
Syafruddin dJalal
Syafruddin dJalal Mohon Tunggu... profesional -

bagi Kompasianer yang satu ini, hanya ada satu Indonesia yakni Indonesianya, Indonesia Anda dan Indonesia kita. Mengapa harus berbeda tegasnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Longsor di Palopo Mestinya Jadi Renungan Pemkot dan Masyarakat Adat

15 November 2009   05:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_38598" align="alignleft" width="150" caption="masyarakat lemarrang"][/caption]

BAGAIMANA hutan bisa lestari jika masyarakat yang bermukim di sekitarnya pun turut merambahnya. Seperti tampak pada  foto di samping ini, seorang ibu bersama anak tengah mengangkut kayu dari dalam hutan. Gambar ini diambil di kawasan hutan yang berada di Lemarrang Kelurahan padang Lambe Kecamatan Wara Barat Kota Palopo pada bulan Juli 2009.

Kalau perambahan terus di biarkan, tentu bencana akan datang menimpah dan biasanya masyarakat di sekitar kawasan hutan justru pertama kali merasakan akibat. Memang terbilang cukup lama berselang, namun saya tetap merasa masih cukup aktual untuk diposting setelah terlebih dahulu merenungi amuk alam di Kota Palopo, tepatnya di Battang-Barat Kecamatan Wara-Barat.  Amukan itu berupa  longsor tanah bercampur bebatuan  yang mengakibatkan 13 jiwa melayang dan meremukkan faslitas umum seperti jalan sepanjang poros trans Palopo – Toraja Utara. Meski tak sehebat gempa yang baru saja menimpa Sumatra Barat namun kondisi jasad yang ditemukan amat mengenaskan, anggota tubuh terpisah satu dengan yang lain. Inilah bencana terbesar yang pernah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terkahir di Kota Palopo.

Saya menduga saja bahwa tragedi itu bukanlah sepenuhnya murni kehendak alam, tapi ada campur tangan manusia yang tidak bersahabat dengannya. Bukan ketika itu tapi sebelumnya. Dimulai dengan perubahan hutan jadi kebun oleh masyarakat di sekitarnya sehingga akar dari pohon besar berkurang. Dan makin berkurang saja seiring pertambahan luas lahan kebun. Akibatnya ketika hujan  mengguyur  bumi, tanah –yang kering dan retak akibat kemarau panjang– bergerak jadi longsor. Apalagi ternyata, menurut Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palopo, kondisi tanahnya bersifat labil dan hanya memiliki ketebalan 6 meter (Luwuraya News, 13 November 2009, kompasiana). Dalam kondisi seperti itu, sesungguhnya pepohonan berakar besar jadi tempat berlindung yang paling aman.

Kalau bukan bermula dari perubahan hutan jadi kebun, lantas apakah pembangunan jaringan pipa PDAM hendak dipersoalkan? Saya kira itu agak naif sebab pembangunannya, tentu terlebih dahulu melalui proses pengkajian mendalam yang tercermin dalam dokumen AMDAL.

Kali ini warga Battang Barat terkena musibah tapi bukan mustahil kelak akan menimpa warga di tempat lain termasuk di Lemarrang. Mereka seakan tak peduli pada fungsi sejati hutan dalam menjaga keseimbangan ekologis. Padahal di situ merupakan kawasan hutan lindung yang sejak tahun 2007 kena pelaksanaan program GERHAN ( Gerakan Reboisasi Hutan ). Mereka mulanya menerima setelah melalui upaya persuasif yang alot dilakukan oleh PLG (petugas lapangan GERHAN) bersama PT Damero Putri Utama. Tapi kemudian mereka kembali menolak setelah pelaksanaan program tersebut  memasuki tahap perampungan. Apalagi di kawasan itu pun kini di susuli oleh program KAT (Kawasan Adat Terpencil)  dari Departemen Sosial. Dibawah leading sector Disnakertrans Palopo maka dibangun 80 unit rumah berukuran 4 x 7 M di sepanjang jalan setapak dalam kawasan hutan lindung.

Semua itu bagi saya, menarik untuk dicermati. Sehingga menemani Irawati,S.Hut (PLG) ke lokasi GERAHAN untuk memantau perkembangan tanaman jadi hal yang berharga. Dan saat-saat itu, saya merasa wajib mendengar keluh-kesahnya  berkaitan dengan sikap mendua masyarakat.

Kini klaim kepemilikan masyarakat Lemarrang atas kawasan hutan lindung makin berkibar di bawah panji bendera adat. Silahkan menyunggih tinggi-tinggi bendera itu. Saya sepakat tapi bukan untuk merusak hutan. Silahkan manfaatkan hutan tapi bukan mengubahnya jadi kebun.  Tidak cukupkah tangis  bangsa ini akibat bencana? Sumatera Barat  teramat jauh dari Kota Palopo, mungkin Pemkot Palopo dan masyarakat Lemarrang belum sempat melihat secara langsung akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi di sana. Tapi di Battang Barat jelas kondisi nyata diketahui oleh meraka! Karena itu, ada baiknya jika dijadikan renungan sehingga melestarikan hutan jadi sebuah kebutuhan.

Akhir kata, Mari selamaatkan bumi! sebab seperti kata Emil Salim "Bumi ini bukan milik kita tapi warisan dari anak cucu kita" Wassalam

catatan

- PT Damero Putri Utama, pihak ketiga yang memenangkan tender pengadaan dan penanaman bibit GERHAN - Hingga saat ini, belum dapat dipastikan bahwa apakah izin prinsip pembangunan ke 80 unit rumah di kawasan hutan lindung Lemarrang itu telah terbit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun