Alam terlahir begitu indahnya dengan berbagai jenis makluk hidup yang mendiami. Di langit terdapat burung yang terbang melintasi angkasa, di laut terdapat ikan-ikan yang melintasi samudra, dan di hamparan daratan terdapat manusia yang memimpin rantai makanan makhluk hidup. Sebelum era modern, daratan masih dipenuhi hutan-hutan yang lebah terutama di daerah yang beriklim tropis. Hutan memiliki kekayaan sumber daya alam hayati yang sangat berperan penting bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup. Di dalamnya, manusia dapat berburu hewan untuk makan, membuat rumah untuk berlidung, dan berbagai macam hal lainnya.
Indonesia yang menempati urutan ke sembilan sebagai negara yang memiliki hutan terluas, juga memiliki beragam kekayaan hayati di dalamnya. Dalam sejarah Indonesia, hutan memiliki peranan yang cukup vital. Salah satunya adalah ketika zaman perang melawan penjajah. Hutan dimanfaatkan sebagai medan untuk mengacaukan pasukan Belanda dengan segala persenjataanya. Novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air adalah salah satu novel yang menggambarkan hutan sebagai tempat strategis untuk menyerang penjajah dan tempat bertahan hidup. Selain itu hutan juga digambarkan sebagai tempat pelarian para tentara yang dikejar musuh untuk berlindung. Luasnya hutan Indonesia di masa lampau menjadikannya sebagai tempat yang sangat cocok untuk bersembunyi dari segala bentuk ancaman dunia luar.
Peranan hutan sendiri perlu dilihat dari berbagai sisi guna melihat apakah fungsi dari hutan tersebut sesuai pada hakikatnya. Dalam esai ini penggunaan kajian etis digunakan untuk menyandingkan dan juga proses kritis bahwa adanya keterkaitan fakta dengan penggambaran latar cerita yaitu hutan. Pentingnya mengatahui hal ini adalah memahami bahwa hutan tetap menjadi alam bebas yang didalamnya sering kali terdapat hal yang mengejutkan, baik hal positif seperti hidupnya hewan langka maupun hal negatif seperti pencurian kayu.
Hutan secara yuridis telah dirumuskan di dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang nomer 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Berdasarkan undang-undang tersebut, hutan dijelaskan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan juga dijadikan sebagai latar tempat utama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari tahun 1992 yang bercerita tentang tiga anggota DI/TII yang bersembunyi dari kejaran tentara Indonesia akibat pemberontakan yang menginginkan Indonesia sebagai negara islam. Hutan dalam novel tersebut tepatnya berada di Hutan Jati Cigobang, Jawa Barat.
Membahas tentang hutan, Indonesia memiliki beragam jenis hutan yang tersebar mulai dari Sumatra hingga Papua. Klasifikasi pembagain hutan terbagi menjadi 5 yaitu berdasarkan fungsi, iklim, tempat, jenis pohon, dan proses terjadinya, Sebagaimana cerita dalam novel yang mengambil latar yakni hutan jati, termasuk ke dalam klasifikasi berdasarkan jenis pohonnya yaitu hutan homogen (hutan yang terdiri dari satu jenis pohon saja). Letak geografis hutan jati yang disebutkan dalam cerita berada di Jawa Barat, sedangkan memang pada faktanya persebaran hutan jati berada di sepanjang pulau jawa. Mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur kemudian terdapat juga di Bali, Nusa Tenggara, dan beberapa wilayah di Sulawesi. Pohon jati atau kayu jati oleh masyarakat jawa sering dijuluki “sejatining kayu” atau yang berarti “kayu yang sebenarnya”. Secara fisik tinggi rata-rata pohon jati berkisar antara 40 hingga 45 meter dengan diameter 2,5 meter. Jika dilihat dari asal-usul pohon jati, sejarah mencatat bahwa tumbuhan tersebut berasal dari India yang kemudian dibawa dan diperdagangkan oleh para pedagang ke tanah Jawa.
Dalam latar waktu novel yang berkisar tahun 50-an hutan masih menjadi suatu tempat yang sangat luas. Suasananya begitu lengang karena kehidupan si tokoh utama yaitu Amid, tinggal dan bertahan hidup di tengah-tengah hutan belantara. Dikarenakan jarang dilewati manusia, hutan juga digunakan sebagai tempat persembunyian para pelaku kejahatan seperti pencuri dan penebang ilegal kayu jati. Seperti diceritakan pada bagian awal novel, terdapat lima rumah beratap ilalang yang berada di tengah hutan dan diapit tebing. Hal ini benar-benar menunjukkan bahwa hutan belantara juga dapat menjadi tempat persembunyian yang strategis, karena banyaknya pohon berhimpitan yang dapat menghalangi pandangan jarak jauh serta kondisi sekitar yang begitu lengang dapat mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat dari kejauhan.
Pos persembunyian di dalam hutan adalah tempat yang telah dipersiapkan untuk bertahan hidup oleh Amid dkk(sebagai pasukan Laskar DII) setelah kalah perang dengan tentara resmi Indonesia. Beberapa pos persembunyian tersebut bisa berada di dalam semak belukar, di dalam goa, dan di tengah tebing atau ceruk tebing. Letak persembunyian tersebut memang cukup sulit ditemukan karena di dalam hutan belantara akses untuk perjalanan juga cukup sulit. Oleh karena itu, para tentara yang mengejar para buronan juga akan mengalami kesulitan jika tidak mengetahui medan yang dilalui. Masyarakat di sekitar hutan kebanyakan hanya beraktifitas di bagian luar saja karena terdapat beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah sulit mencari jalan pulang atau bisa tersesat dan faktor yang kedua adalah adanya hewan buas yang bersembunyi di dalam hutan. Seperti diceritakan di dalam novel, walaupun suasana hutan begitu lengang seakan hanya tumbuhan yang berbicara namun masih terdapat para pemburu alami di dalam hutan tersebut. Seekor harimau biasa tentu akan menakuti semua orang yang melihatnya secara langsung, tidak terkecuali para tentara yang membawa senjata.
Fakta tentang hutan yang digunakan sebagai tempat persembunyian juga muncul dalam media pemberitaan Indonesia, salah satunya dari Republica.co.id. Ditemukan adanya tentara Jepang yang bersembunyi dan bertahan hidup hingga tigapuluh tahun di dalam hutan Indonesia. Walaupun terdapat adanya perbedaan tokoh, tetapi hal ini menunjukkan bahwa bukti nyata hutan juga digunakan sebagai tempat pelarian adalah benar adanya. Bagaimana dengan tentara-tentara pelarian lainnya yang tidak tertangkap media, tentu jumlahnya tidak dapat diperkirakan karena kurangnya informasi untuk menggali informasi hingga ke dalam hutan belantara.
Jika dikaitkan dengan masa sekarang, hutan masih tetap dapat dijadikan sebagai persembunyian. Namun terdapat pergeseran tujuan utama dari kata persembunyian tersebut. Pada masa lampau hutan digunakan oleh para pelarian yang telah kalah perang untuk bersembunyi, jika pada masa sekarang karena tidak adanya perang atau konflik yang berkepanjangan di Indonesia khususnya di daerah Jawa maka hutan digunakan sebagai tempat bersembunyi oleh orang-orang yang ingin bebas dari hiruk pikuk kesibukan duniawi. Kegiatan seperti berpetualang dan berkemah sering dilakukan banyak orang di zaman sekarang.
Selain pembahasan di atas tentang manfaat hutan pada zaman dahulu dan sekarang, hutan jati atau kayu jati sendiri memiliki filosofi yang cukup mendalam bagi masyarakat Indonesia, khusunya di Jawa. Kayu Jati memang terkenal dengan harganya yang mahal, hal tersebut dikarenakan kayu jati memiliki banyak keunggulan daripada kayu-kayu lain. Kemudian muncullah pandangan bahwa hanya kalangan yang memiliki status sosial yang tinggi yang mampu membeli dan menggunakan kayu Jati. Pada faktanya kegunaan kayu jati dimanfaatkan untuk bahan dasar pembuatan rumah, mebel, maupun produk-produk yang memiliki nilai jual yang tinggi di masyarakat.
Tentu dengan banyaknya manfaat tersebut, fungsi hutan dapat disalahgunakan. Salah satunya adalah tindakan Illegal Logging atau pembalakan illegal. Tindakan ilegal tersebut sering kali dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendapat keuntungan pribadi. Menurut Hudha, et al (2019) Illegal logging dilakukan oleh a) pekerja lokal dan pendatang yang dipekerjakan; pemilik modal dan penadah; dan c) aparat negara (eskekutif, yudikatif, legislatif, dan militer), serta penentu kebijakan lainnya. Terjadinya kegiatan illegal logging di Indonesia didasari karena beberapa faktor yang melatarbelakangi, yaitu masalah sosial dan ekonomi, kelembagaan, kesenjangan ketersediaan bahan baku, lemahnya koordinasi, kurangnya komitmen, dan lemahnya kekuatan hukum yang berlaku.