Gemuruh langit memekat mendung. Jauh kicau laut menggamang, angin mendesir sengau. Alam menampakkan wajah suram pada hari kematiannya, Djauhar, lelaki dengan cinta yang keras kepala.
Di Desa Ibu, awal mula cinta mendatangi kita. Pada lembar persetujuan yang dipenuhi huruf arab melayu, aku menuliskan namaku dan mengingat namamu. Sepetak Tanah Kadaton di dataran Ibu berpindah tangan padamu, tetapi rasa kita makin menyatu. Makin utuh dan ragu-ragu.
Pertemuan kecil tak sengaja itu membawa kita pada ketergantungan akut. Cintaku menggelegak, mencapai puncaknya, juga membadai kepala, sunyi dada. Aku telah dijodohkan, tetapi aku rasa gelisah, bimbang pada rasa yang tak terengkuh. Menginginkan seseorang di pulau seberang.
Kau juga sama. Mencintaiku sejauh waktu, di jauh tempatmu. Serba salah dan betapa pasrah. Namun, selamanya kau lelaki paling berani di jagat bumi. Meski saling mencinta dalam sembunyi, tapi kita tak bisa saling menopang tanpa raga. Rahasia boleh tak bersuara, tapi cinta menginginkan lebih dari tatap mata, dari bicara.Â
Sebabnya, dalam pengantaran upeti kau nekat mendekat padaku. Demi cintamu, kekasih yang dipenjara dalam kerajaan, kau ingin bertemu dan rela menyerahkan kepalamu sebagai penebusan paling luhur.Â
Betapa kau adalah segala, keberanian ksatria, dan cinta yang tak meminta apa-apa. Tulus juga bersahaja, mendekap bayangku seolah kau dan maut sedekat langkah, dan kita kematian pun tak bisa memisah.
Di belakang Kedaton, mataku panas dan dadaku bergelombang, sesak oleh keesedihan yang penuh. Kau menghampiriku dengan tubuh jihad, siap menerima segala tiba, ajal juga cinta yang gagal. Aku mengingatmu sepanjang usia. Satu-satunya yang tak bisa luput adalah pandang matamu yang tajam.Â
Di sana aku menemukan rindang pepohonan yang menawarkan pelukan sekaligus perlindungan. Air mataku jatuh di tempat pengasingan setiap waktu. Kau berkorban untuk seseorang yang tak mampu menyelamatkan nyawamu. Seseorang yang tak berdaya, bahkan pada cinta yang menyata di hadapnya.
Kala itu alam berkabung selama tujuh hari. Hujan talu, gemintang samar, pucat bulan, dan pagi yang selalu sendu. Aku tenggelam haru. Menolak bersanding dengan lelaki selain kau. Walau ragamu telah menyatu dengan tanah yang dangkal, tapi cinta kita kekal. Hari-hari berlalu sunyi, aku mengurung diri dan mengarung kenang di Desa Ibu. Aku merasa kematian kian dekat dan begitu akrab, menyapaku, berdiri di sampingku, melambai pada jendela, pada waktu yang tak bertanggal, sekalian mengucapkan selamat tinggal.
Djauhar, jika hidup melahirkan kita sekali lagi. Aku rela mengorbankan segala untukmu, lebih dari kepala, lebih dari nyawa yang melayang di belakang istana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H