"ino Fomakati Nyinga,Eli Kie Segam"
(Satu hati dalam memperjuangkan negeri tercinta).
Setiap hari tak pernah hari ini atau hari ini tak pernah jadi setiap hari. Pandemi mendatangi kita seperti pemberontak yang berjuang mengusir penjajah. Memaksa manusia mundur dan hidup di balik pintu rumah. Menjaga kebersihan dan pentingnya cuci tangan. Seolah kemanusiaan sedang dituang dalam gelanggang untuk pertaruhan nasib di masa depan. Bukan soal menang atau kalah, tetapi soal bertahan dan keberuntungan, sebuah keselamatan yang mementingkan kemaslahatan.
Di batas-batas terjauh, Tidore, pandemi telah menjangkau seperti sedang mengekspansi sekaligus menyebar penderitaan. Memberi ancaman, ketakutan, dan membuat kita bergeming. Keadaan berubah dan Pemerintah terus berupaya mencari cara terbaik untuk menyelematkan nyawa. Menyelamatkan Tidore dari wabah tak kasat mata.
Namun, sama dengan cinta, adat masih tetap sama. Tak bergeser, tak berubah. Jabat tangan diganti dengan suba, seperti nostalgia, kita mengulang sejarah. Borero gosimo perlu diletakkan di atas kepala. Dicemplungkan ke dalam telinga dan diejawantah dalam laku, dalam tingkah. Batas perlu ditegakkan untuk memanjangkan usia zaman, untuk menyelamatkan kehidupan. Menumbuhkan tawa setelah tangis berkepanjangan, seperti pelangi setelah mendung talu hujan.
Pada musim yang labil, ketika hujan dan matahari saling tindih, kita berharap wabah berwujud manusia. Lalu di sekeliling Marijang, armada kora-kora berhamburan. Pedang dan salawaku dipasung menghadap langit, teriakan menggema menusuk-nusuk bumi. Lautan bergetar, angin segan menidurkan kuduk, dan api kemenangan sebagian sudah tergenggam. Di atas jembatan keramat, bala rakyat meminta berkat dan sehari setelahnya, musuh meminjam perahu nelayan pulang ke negeri asal. Menyerah.
Barangkali yang paling kita butuhkan adalah sesuatu yang semula kita remehkan. Harapan. Barangkali juga sedikit ikhtiar. Dalam kesengsaraan ini, saat ujian mematahkan semangat, yang tersisa hanya harapan. Meskipun sekarat, harapan perlu dirawat. Saat orang-orang saling menyalahkan, saling tuduh, saling curiga, berlebihan waspada, maka kepercayaan ikut memudar. Dan dari arah tak terlihat akan muncul perpecahan. Sedang pertahanan terakhir kita hanyalah ulur tangan. Dengan demikian harapan sebaiknya disampaikan kepada Tuhan. Sebagai doa paling kudus. Doa paling subtil di akhir sujud.
Lihatlah keadaan terkini, rasakan didih pedih derita pecah di tubuh pemerintahan Tidore. Kehilangan dan kesedihan saling tarik-menarik. Tetapi kesadaran seakan menolak hadir, menempatkan diri di luar perasaan. Dalam dada kita terlalu penuh dengan bara curiga yang gemar menempel stigma, dengan nyala yang dapat membakar hubungan, membakar tawa, juga harmoni yang indah menjadi amarah, menjadi benci yang membatu dan keras kepala.
Di akhir Mei beserta kesedihan dan kekecewaan yang memelukku. Aku ingin menyampaikan selamat ulang tahun kepada Pemerintah Kota Tidore yang ke-17. Semoga Tuhan selalu menurunkan lengan dan mencurahkan kesehatan, keberkahan, keselamatan bagi para Beliau yang sedang mendekap tanggung jawab. Tetaplah tegakkan kepala dan memberi arah di tengah kabut tebal yang panjang sekalipun. Sebab seperti yang dibilang Rumi, "Senyum terindah datang dari orang yang menangis. Setelah badai berlau, hujan tawa pun tiba."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H