Mohon tunggu...
Syafril Efendi Hanafiah (SEH)
Syafril Efendi Hanafiah (SEH) Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia

Politik Nasional, Pemilu dan Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Judisialisasi Politik di MK dalam Kontestasi Pilpres 2024

31 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 31 Desember 2024   09:32 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan politik belakangan ini telah membawa banyak perubahan dalam kondisi pemerintahan di Indonesia, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu fokus utama. Menjelang Pemilu 2024, perhatian publik terhadap MK meningkat karena beberapa keputusan yang dianggap kontroversial, terutama terkait judicial review untuk batas usia pencalonan wakil presiden. Banyak respon serta kritik yang dilontarkan kepada MK akibat putusan MK terkait materi undang-undang yang di-review (judicial review) dianggap berbau politis dan sarat akan kepentingan.

Konsep judicial review adalah kewenangan MK untuk meninjau keberadaan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi atau prosedur pembentukan undang-undang. Para pendukung judicial review percaya bahwa ini adalah alat untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dalam demokrasi, sementara kritik dilontarkan karena dianggap berbau politis. Penggunaan judicial review semakin meningkat pada abad ke-21, di mana masyarakat cenderung mencari keputusan pengadilan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi. Terutama menjelang Pemilu 2024, permohonan judicial review digunakan untuk mempertanyakan undang-undang Pemilu, termasuk batas usia kandidat presiden dan wakil presiden. Putusan MK mengenai batas usia calon wakil presiden menjadi perhatian khusus karena terkait erat dengan politik dinasti. Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden Joko Widodo, diuntungkan oleh keputusan tersebut untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024.

Pada Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan penting yang mengejutkan publik. Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, mengabulkan salah satu gugatan terkait batasan usia calon wakil presiden. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945. Namun, seseorang yang berusia di bawah 40 tahun dapat mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini dikeluarkan dalam perkara gugatan terhadap pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret, Almas Tsaqibbirru. MK menyatakan bahwa pasal tersebut tidak sesuai dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai sebagai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Jabatan yang dipilih melalui pemilu mencakup presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah atau wakil kepala daerah tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. MK menyatakan bahwa orang yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah atau dalam jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan umum dapat diajukan sebagai calon wakil presiden, atau bahkan presiden.

Publik memberikan perhatian besar dan mengkritik ketika Ketua MK yang mengumumkan putusan tersebut ternyata saudara ipar dari Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran. Banyak media massa menyebutkan bahwa putusan MK tersebut dianggap sebagai contoh dari kewenangan badan kehakiman yang dipengaruhi oleh kepentingan politik dalam memutuskan isu-isu atau kontroversi politik. Konsep pengadilan yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah politik ini telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik, yang sering disebut sebagai fenomena judisialisasi politik.

Konsep Judisialisasi Politik 

Fenomena judisialisasi politik mencakup ekspansi kekuasaan kehakiman untuk menangani masalah-masalah politik melalui hukum (Tate, 1995). Hal ini dipicu oleh berbagai faktor termasuk fragmentasi kekuasaan politik, kepercayaan pada pengadilan untuk melindungi nilai-nilai penting, dan strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan. Judisialisasi politik dipengaruhi oleh fitur kelembagaan, perilaku hakim, dan determinan politik. Hal ini mencakup kebutuhan akan pengadilan independen dan tidak memihak, serta faktor-faktor politik seperti tren demokrasi, prevalensi diskursus hak asasi, dan manuver-manuver strategis dari pemangku kepentingan politik (Stone Sweet, 2002). Dengan kata lain, judisialisasi politik dapat dijelaskan sebagai peningkatan peran lembaga kehakiman dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kebijakan publik yang memiliki dimensi politis.

 Dinamika di MK dalam Pilpres 2024

Mahkamah Konstitusi (MK) didirikan sebagai bagian dari sistem demokrasi berdasarkan prinsip negara hukum untuk menguji peraturan-peraturan hukum. Saat MK didirikan, terjadi perdebatan apakah harus ada pengadilan khusus untuk menguji undang-undang dan perkara-perkara ketatanegaraan atau memberikan kewenangan tersebut kepada Mahkamah Agung atau badan politik lainnya. Keputusan politik pada saat itu adalah membentuk Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003. Oleh karena itu, keberadaan MK dapat dipahami berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang mendasar, seperti negara hukum, demokrasi, dan konstitusionalisme.

Perjalanan MK sejak berdiri hingga saat ini mengalami berbagai dinamika. MK kadang-kadang mendapat apresiasi publik yang tinggi tetapi juga mengalami penurunan reputasi. Simon Butt (2015) menyatakan bahwa generasi pertama dan kedua MK di bawah kepemimpinan Jimly Asshidique dan Mahfud MD berhasil membangun reputasi MK berkat independensinya, kompetensi hakimnya, keandalannya, dan ketidakberpihakan dibandingkan dengan lembaga peradilan lainnya. Namun, reputasi MK merosot tajam akibat skandal penangkapan Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar serta kasus-kasus lainnya. Selama lebih dari 20 tahun berjalan, kritikan publik banyak tertuju pada pelaksanaan uji formil yang dilakukan oleh MK, terutama beberapa tahun terakhir. Publik sangat memperhatikan uji formil karena merasa bahwa pembentukan undang-undang tersebut melalui prosedur yang tidak benar. Uji formil mendapat perhatian lebih karena publik mengharapkan MK dapat memainkan peran yang penting dalam mencapai keadilan prosedural.

Putusan MK mengenai batas usia calon wakil presiden kemudian menjadi polemik di masyarakat, yang memperkuat makna penting judisialisasi politik di badan kehakiman. Judisialisasi politik ini timbul karena hakim memutus perkara-perkara yang bernuansa politik. Publik menyadari bahwa MK memiliki kewenangan yang besar, termasuk menguji undang-undang baik secara formal maupun materiil, menguji Perpu, membubarkan partai politik, memberikan pendapat tentang pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, serta menyelesaikan sengketa hasil Pemilu. Kebanyakan perkara yang ditangani oleh MK diklasifikasikan sebagai hard cases yang berkaitan dengan nuansa politik, budaya, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, hakim konstitusi harus memiliki kemampuan yang tinggi. Tendensi judisialisasi politik terjadi ketika badan politik terlibat dalam pengisian jabatan hakim. Salah satu contohnya adalah Hakim Konstitusi Anwar Usman yang merupakan saudara ipar dari Presiden Indonesia, Joko Widodo. Posisi Anwar Usman sebagai Ketua MK dipandang berpotensi mengurangi objektivitas dan independensi penyelesaian perkara politik. Misalnya, putusan MK mengabulkan permohonan judicial review tentang syarat menjadi calon wakil presiden dalam Pemilu, yang memuluskan langkah kandidat cawapres Gibran, keponakan Anwar Usman.

Sebagai kesimpulan, faktor judisialisasi politik berperan penting dalam putusan MK mengenai syarat batas usia Cawapres dan kandidasi Gibran Rakabuming Raka (Gibran) sebagai Calon Wakil Presiden dalam Pilpres 2024. Judisialisasi politik mengacu pada fenomena di mana keputusan-keputusan pengadilan dan proses hukum digunakan atau dipengaruhi oleh pertimbangan politik (Hirschl, 2008). Fenomena ini mencerminkan keterlibatan politik dalam ranah yudisial, yang seharusnya bersifat independen seperti di Mahkamah Konstitusi (MK). Judisialisasi politik terjadi dalam bentuk intervensi politik terhadap sistem peradilan, pengaruh politik dalam penanganan produk hukum, serta peran politik yang tercermin dalam putusan pengadilan. Putusan MK terkait batas usia Cawapres pada Oktober 2023 merupakan putusan peradilan yang politis dan sarat kepentingan karena pertama, pembahasan uji materiil undang-undang yang cacat prosedural dan subtansial hingga konflik kepentingan yang melibatkan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan keluarga Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun