Mohon tunggu...
Syafriansyah Viola
Syafriansyah Viola Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

suka baca fiksi dan sekali-sekali....menulis!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setoples Harapan di Tolikara

21 Juli 2015   15:13 Diperbarui: 21 Juli 2015   15:26 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Profil Kab. Tolikara


Tiba-tiba, saya terkesima dan sedikit ternganga, mulut terbuka dan mata perih dan haru, memperdengarkan sebuah tayangan di salah satu stasiun televisi swasta yang menayangkan tragedi Tolikara, Papua. Stasiun televisi itu dengan sangat kreatif, inovatif dan atraktif seakan menyulap tragedi Tolikara menjadi akronim yang cerdas yakni Tolong Lihat Kami Ini Rakyat (TOLIKARA).

Tolikara adalah sebuah puncak gunung salju persoalan pelik negeri ini. Selain itu, letaknya juga berdekatan dengan Gunung Jaya Wijaya yang puncaknya bersalju itu. Jauh dari mata orang-orang Jakarta, terpencil dan duduk tersudut dalam ruang kesepian yang maha panjang.

Sedih memang, saya tak menapik tragedi ini melukai hati sebagian yang lain. Lalu, pernahkah kita berpikir sejenak, ada suatu persoalan besar yang sedang menggerogoti Tolikara. Persoalan yang tentunya lebih hebat dan lebih tragis dari sekedar insiden ini. Saya tak ingin menceburkan diri terlalu riuh dengan menuding ini dan itu, menyalahkan si A, si B, dan si C, hanya untuk melepaskan sensasi masa puber yang tak bahagia.

Sikap yang pecicilan dan arogansi yang kekanak-kanakan, sebaiknya kita sudahi saja. Lha, Kapolri saja mengatakan bahwa kondisi di sana sudah kondusif, apalagi yang mau dihebohkan. Atau kita mau unjuk gigi menertawakan ketidakdewasaan dan nafsu riang gembira nan bahagia kengawuran berdebat. Kata mamah Dedek, Sejukkk dihati.

Kembali ke Tolikara. Sebagai anak yang jauh dari orang tua dan kesepian di pedalaman sana, Tolikara berbuat bandel. Tujuannya apa? Sederhana, hanya ingin menarik perhatian orang tuanya (penguasa negeri ini). Tolikara adalah potret dehidrasi kasih sayang dalam pembangunan. Ya, sudah, saya tak mau merengek-rengek menceritakan ini. Kita lihat saja dan coba sedikit berempati merasakan apa yang sebenarnya terjadi di Kabupaten yang letaknya jauh di pedalaman sana itu.

1/ Akses Pendidikan.

Mungkin tak terlalu muluk kalo kita melihat bagaimana akses pendidikan yang bisa dirasakan oleh anak-anak Tolikara. Pernahkah kita menghitung berapa jumlah bangunan sekolah yang ada, minimnya buku-buku pelajaran, kelangkaan tenaga pendidik/guru, atau sekedar pensil untuk menulis.

Berapa dari jumlah mereka yang putus sekolah, tak dapat menikmati kue pembangunan. Jangankan untuk kebutuhan barang mewah seperti akses internet, perpustakaan, bisa sekedar untuk pergi ke sekolah saja itu sudah sesuatu hal yang super mewah.

Berapa kilometer jarak yang mereka tempuh hanya untuk sedekar mencicipi betapa lezatnya bermain-main dan belajar di sekolah. Saya tak tau, apakah para orang tua atau mama-mama di sana tau atau pernah mendengar bahwa anak-anaknya mesti ikut wajib belajar 12 tahun.

Kenapa anak-anak ini menjadikan mereka bandel dan nakal, karena mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan manusiawi seperti saudara-saudara mereka yang ada di bagian lain negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun