/1/di jalan Semanggi,
purnama tak utuh,
lalu meleleh
pada garis-garis waktu yang keriput
menyulam malam dalam dendam
mengeringkan lupa
bukan,
bukan komedi, kawan!
kami menyebutnya tragedi
_sejauh jejak menapak
di sini, tak jauh dari ingatan
anak-anak bumi berteriak parau
dihalau gas airmata dan peluru
dihujani mesiu
putik bunga semanggi,
bunga-bunga pertiwi yang menggigil
/2/ di jalan Semanggi,
mengelupaskan mimpi-mimpi,
dikulit tipis memori
kepul asap bedil murka
menyetubuhi anak-anak bumi
burung-burung gagak bersiul
lebih menyanyikan bau amis kematian
di beranda keangkuhan alat penguasa
putik bunga semanggi,
membatu di gerbang fajar
_ditanah yang aku huni
kuasa adalah ambisi
memakan anak-anak pertiwi
memakan mimpi
memakan matahari
jangan pernah kau berkhayal mimpi meniduri matahari, kawan.
tidak!
/3/ ditanah yang aku huni
kelicikan bekerja rapi
menculik dinginnya sunyi
bahkan menggigit pagi
entah bagaimana lagi
aku menafsirkan suara hati ini
_kini aku ingin menjenguknya lagi
meski hanya lewat puisi
mengukir ingat,
sesobek kenangan negeri ini
puisi dipersembahkan kepada para ‘pasukan moral’ korban tragedi semanggi 1998:
Yap Yun Hap, Teddy Wardhani Kusuma, Bernardus Realino Norma Irawan, Sigit Prasetyo, Engkus Kusnadi, Muzzammil Joko, Ugas Usman, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Dodi Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Hadi, dkk.
Kawan, berteriaklah, walau dari di dalam kuburmu... !
sumber gambar illustrasi lihat disini
(Syafriansah Viola, Kuala Tungkal, 14 Mei 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H