Sekarang, saya sedang gandrung-gandrungnya mengupas seri menulis tentang menulis. Entah kenapa. Saya tak tau sebabnya, bisa jadi mood saya menggiring ke sana. Abaikan saja. Pada tulisan sebelumnya saya sudah mengupas dari sudut pandang penulis, kali ini saya coba mengupas nada emosi tulisan. Tulisan ini adalah seri lanjutan dari rangkaian tulisan sebelumnya, silahkan baca disini dan disini.
Tulisan ini sengaja saya potong menjadi dua kotak. Kotak pertama berisi, ‘Dengarkan Kegelisahan Hati dan Menulislah’. Kotak yang lain, berisi, menulislah “Riang Gembira Penuh Canda dan Suka-suka nan Bahagia”. Menulis itu sejatinya memiliki dua sisi emosi, menulis di atas kegelisahan atau menulis di atas kegembiraan. Baiklah. Saya serahkan kepada pembaca mau menilai dan memilih yang mana.
1/ Dengarkan kegelisahan hati, dan menulislah!
Saya contohkan, diri saya sendiri. Setiap kali saya dilanda rasa resah dan gelisah, bila akan menuliskan sesuatu, apapun itu. Kalimat-kalimat menjadi sulit dipahami, plot yang berantakan, atau tema yang kekanak-kanakan. Akhirnya, tulisan pun menjadi ngawur. Itu tandanya, tak mudah menulis di atas kegelisahan. Butuh keberanian yang lebih untuk menuliskan kegelisahan hati, atau pengalaman pahit.
Saya coba merujuk ke KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kegelisahan berasal dari kata ‘gelisah’. /ge-li-sah/ a. Tidak tentram, selalu merasa khawatir (tt suasana hati); tidak tenang (tt tidur); tidak sabar dlmenanti dsb; cemas. Sejak lama, saya tidak suka kosa kata ‘gelisah’ atau ‘kegelisahan’. Kalau bisa dicoret atau dihapus saja dalam kamus KBBI.
Saya juga penikmat kopi dan puisi. Soal kopi, nanti kita bahas di dapur saja. Yang menarik itu puisi. Puisi, menurut saya, adalah sebuah estafet kegelisahan. Estafet ini adalah loncatan perasaan yang membuncah lalu meledak, indah bila dituliskan.
Kita lihat puisi ini, (Chairil Anwar)
Ah! Hatiku tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
Saya tak tau kegelisahan sebesar apa yang berkecamuk di dada si penyair ini. Sebesar gunungkah. Sebesar kolam kah. Yang pasti dia gelisah. Dalam kegelisahan itu dia menulis syair indah. Syair yang indah dan puisi yang suci adalah sebuah keajaiban hati. Rasa sebagai kendaraannya. Penyair, pujangga, atau apapun namanya itu, pasti sangat akrab dengan kata ‘gelisah’ ini.
******
2/ Menulis ‘riang gembira penuh canda dan suka-suka nan bahagia’