Wah, wah…ada lomba blog di Kompasiana nih. Semangat menulis saya pun seketika terbakar lagi. Saya menulis ulasan ini dengan antusias sekali. Dimulai mencari-cari sumber bahan mentah dan baca-baca ulasan AFTA 2015 dari kawan-kawan Kompasiana lainnya, lalu meramunya dalam sajian tulisan ini. Awalnya sempat juga tak percaya diri menulis ulasan ini, tapi saya kuatkan dalam hati, saya coba dulu. Soal hasilnya, biarlah hanya Tuhan dan Admin yang tahu.
Sebelum memulai, saya juga mau mengomentari terlebih dahulu judul lomba ini, “Lomba Blog: Siapkah Indonesia Memasuki AFTA 2015? Tulis Ulasanmu dan Raih Hadiahnya”. Seingat saya, kepala judul ini juga pernah ditanyakan calon mertua saya untuk hal yang berbeda, saat mengikat janji pernikahan. Dia bilang pelan, “Sudah Siapkah menikah dengan anak saya?”. Saya diam terpaku dan mikir panjang, mendadak kesadaran saya hilang sejenak. Diantara sadar dan tidak sadar, saya jawab di ujung lidah yang kaku: “Sssssss...siiiiaapp…!!”. Alhamdulillah, semua berjalan lancar dan keluarga kami dianugerahi Tuhan seorang putri yang cantik. Lha, apa hubungannya dengan AFTA 2015?
Mengubah mindset. Saya coba mengulasnya, dimulai dari mindset atau cara berpikir. Ketika saya baca judulnya, dan coba membayangkan, “AFTA 2015” itu apa ya? Apakah sejenis makanan? Atau termasuk makhluk hidup? barangkali judul lagu yang lagi booming saat ini? Nah, ini persoalan dasarnya.
Sependek pengetahuan saya, AFTA 2015 adalah akronim dari ASEAN Free Trade Area 2015. Sebuah kawasan perdagangan bebas di regional ASEAN antara lain Indonesia, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Laos, Kamboja, Brunei Darussalam, dan Myanmar. Bagi Indonesia sendiri, AFTA 2015 adalah sebuah pisau bermata dua: tantangan sekaligus peluang.
Saya pikir, tantangan paling berat seputar AFTA 2015 ini ada dalam persoalan cara berpikir atau mindset. Kenapa begitu? Seyogyanyalah, kita bisa melihat dan berpikir benar tentang AFTA 2015 ini. Persoalan-persoalan teknis dilapangan nantinya bisa diminimalisir diakomodasi seapik mungkin. Persis seperti pengalaman saya diatas, kalo ditunggu kesiapan mental untuk menikah? Jujur saja, saya tak pernah siap. Toh, buktinya sekarang aman-aman saja…hehehe
Kecemasan, ketakutan, dan kegamangan melangkah adalah sesuatu yang wajar dan alamiah. Banyak hal yang mesti dibenahi. Kondisi politik dalam negri yang centang perenang alias amburadul.Carut marut ekonomi yang berserakan. Kesiapan Tenaga Manusia (SDM) yang masih bikin kita garuk-garuk kepala. Teknologi yang mandul. Kalo semua itu dipikirkan sekaligus, rambut dikepala bisa rontok semua. Busyeet dehh…pusssiiingg!
Lalu apa yang perlu dirubah dari kondisi ini? Mindset yang seperti apa yang mesti kita pakai? Menurut sependek pengetahuan saya, logikanya begini saja. Kita terima ini sebagai sebuah kenyataan. Itu saja dulu. Kalo kita menganggap AFTA 2015 sebagai sebuah serangan ekonomi yang mendadak ke negeri kita tercinta ini.
Kita harus punya cara dan strategi untuk menciptakan benteng pertahanan ekonomi berlapis-lapis menahan gempuran itu, terkhusus ditingkat ekonomi kerakyatan. Proteksi produk-produk dalam negeri, kalo perlu bebaskan pajak usaha kecil-menengah hingga 0%. Strategi lain, dengan memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap produk impor. Jangan hanya produk lokal saja yang di SNI, produk impor juga perlu di SNI. Kasihan kan pengusaha lokal. Kebijakan pemerintah mesti adil dan memihak produk lokal.
Sebaliknya, kalo kita menganggapnya sebagai sebuah peluang, yah, ini sebuah peluang pasar yang sangat besar. Bayangkan, ketika Thailand menjual buah-buahan ke Filiphina, Vietnam menjual beras ke Myanmar, Malaysia menjual pariwisata ke Singapura, Indonesia menjual kulit ke Thailand. Ini sebuah lingkaran perdagangan. Terbayangkan pasar seperti apa untuk produk kulit Indonesia. Luas sekali kan.
Membumikan Produk Lokal. Dulu saya masih ingat pesan Aa Gim dalam tiap khutbahnya, selalu berpesan: Mulailah dari diri sendiri. Kita mulai dari diri kita sebagai konsumen alias pemakai produk. Ini langkah penting dan mendesak dalam membangun mindset menghadapi AFTA 2015. Salah satu mindset yang benar tentang AFTA 2015 adalah membumikan produk lokal. Saya akan coba ceklist, apakah saya sudah mencintai produk Indonesia seratus 100 %. Berikut daftar list produk yang kita pakai, produk lokal atau produk luar negeri alias impor. Silahkan ceklist sendiri:
- Sembako? Beras? Buah-buahan? Minyak goreng? Lokal atau impor?
- Pakaian? merek baju dan celana apa yang dipakai? Lokal atau impor?
- Sepatu? Lokal atau impor?
- Tas? Lokal atau impor?
- Minuman? Kopi atau teh? Lokal atau impor?
- Alat-alat rumah tangga? Panci? Piring? Sendok? Meja makan? Lokal atau impor?
- Furniture? Lemari? Kursi? Sofa? Lokal atau impor?
- Alat elektonik? TV ? Radio? Lokal atau impor?
- Hp? Emang ada HP merek lokal?
- dan lain-lain
Kita lihat kenyataan sehari-hari. Tak perlu kita menutup mata. Produk cina sudah membanjiri Indonesia. Mulai dari hal yang tetek-bengek sampai ke kebutuhan pokok. Masyarakat sedang demammade in china. Dengan alasan simple, murah dan bisa irit. Tumbuhkan Sikap ini. Sikap Aku Cinta Produk Indonesia. Ini yang perlu digaung-gaungkan mulai dari sekarang dan ke depan.
Cara paling cerdas berpikir secara eknomi dalam membeli sebuah produk harus di terapkan. Contohnya: kita tak boleh meremehkan produk lokal. Kalo perlu kita konsumen aktif produk lokal. KArena, menurut saya, sikap meremehkan produk lokal itu adalah cara gampang menghancurkan ekonomi kita. Jangan mudah termakan dengan iklan produk luar negeri alias impor.
Mari kita membeli dan memakai produk lokal. Banyak produk lokal kita yang berkualitas dan bagus-bagus, tak kalah dengan produk luar negeri. Kita jangan mudah terpedaya dengan produk luar negeri, belum tentu produknya lebih bagus. Ini lebih ke soal gengsi semata. Jadilah pembeli yang cerdas. Untuk Indonesia. Aku Cinta Produk Indonesia…!
Salam hangat,
SV
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H