Mohon tunggu...
Syafriansyah Viola
Syafriansyah Viola Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

suka baca fiksi dan sekali-sekali....menulis!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Ritual Kematian Rimba Tua

16 Maret 2014   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Kabut asap di Riau membuat kualitas udara di Kota Pekanbaru sangat buruk. Bahkan, beberapa kalangan meyakini kemarin merupakan hari terburuk dalam sejarah peristiwa kabut asap. Semua bangunan nyaris tak terlihat dari jarak 100 meter. Foto diambil Kamis (13/3/2014) pada pukul 15.30 di Tugu Nol Kilometer di tengah kota Pekanbaru, persis di depan kantor Gubernur Riau. Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

/1/

Pukul lima, selagi pagi masih buta

Kubuka jendela

Orang-orang masih terlelap sambil berdesah dan menggeliat, menggaruk diri dalam mimpi.

Di atas kepala, di langit yang semakin pucat pasi

Bintang-bintang memudar

Lenyap dalam halimun yang bertabur di ufuk timur

/2/

Di cakrawala sana

Horizon terkepung oleh kabut asap kelabu

Yang merangkak dari bumi ke langit seperti awan merayap tak menentu

Samar-samar terhampar tanah yang akan menjadi perkebunan baru

Sebuah dataran sunyiyang mati tanpa warna

Tempat semua yang pernah hidup telah ditumpas, dibakar, dimusnahkan

/3/

Pohon tua yang anggun, rotan yang penuh duri, daun yang mewangi,

Ular, semut, kelabang, kalajengking

Melilit, merayap, melata, dan berkembang biak di kaki hutan

Baru saja binasa, lebur dalam api kemerahan

/4/

Api telah membawa kemusnahan yang mengerikan

Lautan api yang menggelegar seperti gelombang kobaran amarah

Menjilati di sekujur tubuh pohon yang lesu, melahap rakus rerumputan kering

Lalu angin mengencang, menghembus sehingga api menyala hebat

Melahap sisa-sisa yang masih ada

Onggokan asap naik tinggi ke udara dan jatuh menyebar dihalau angin di atas tanah yang murung

/5/

Udara bersih tak lagi ada

Asap menjelma menjadi bayangan kelabu yang mengepung kota

Menakuti dan menteror para penduduk di mana-mana

Menjerat dan mencekik urat leher mereka

Kami menghirup udara serasa di neraka.

/6/

Kini terhamparlah tanah itu, gundul, kosong dan kesepian

Menantikan sebuah peradaban yang akan tumbuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun