1/
Wahai Kartini! T’lah ku baca surat-suratmu kepada Nyonya Abendanon dan Nona Estella. Aku heran, kenapa kau slalu bertanya tentang: gadis modern. Apa yang kau inginkan dari gadis itu? Datanglah sesekali berkunjung ke sini. Di sini kau bisa mendapati gadis modern itu. Gadis yang menghuni gubuk nurani yang kosong. Tak lebih dari sepotong tubuh yang melangkah rapuh, tertatih-tatih melawan waktu. Tangannya memeluk lutut-lutut kemanusian. Tidakkah kau lihat wajah itu, Ibu. Wajah yang dibelit kelelahan dari zaman yang rakus. Nyamuk mendengung di kegelapan, mengisap keriangan dari kulitnya. Kutu busuk mengerumuni, dan menggigit naluri keibuannya. Tak ragu kau tempuh jalan setapak yang telah dibuat oleh para peziarah waktu. Jalan menuju jantung kebebasan. Ini kah jalan kebebasan yang pernah kau tunjuk itu, wahai Ibu?
2/
Wahai gadis Modern! Ibu mu, Kartini, itu tlah berteriak hingga serak, lalu mati. Ia t’lah menggali seribu kehidupan penuh rahasia, menyibak tabir dibalik pekatnya kebodohan. Dan ia melihat kekelaman itu, anak ku, hanya ditemani impian yang berbisik. Seperti dalam mimpi ia berjalan terus. Dilangit yang maha luas, bulan sabit memudar pucat. Disekelilingnya, bumi terhampar kelam, dungu, dan pengecut. Sesuatu yang lebih kuat memanggilnya. Dan ia menjawab dengan melangkah terus, semakin jauh menembus horizon. Ke tempat yang lebih terang.
3/
Wahai puteri-puteri kebaya! Hari belum benar-benar terang. Kegelapan baru ditembus oleh bercak-bercak sinar matahari dan angin pagi yang lembab dingin. Dalam remang dan kabut cuma ada bayangan gelap dan samar. Ini merupakan awal hari yang panjang. Awal penuh gerutu, karena setiap orang mengutuk dan mengantuk. Kau mendekam sambil menahan gigil kedinginan dan menunggu sampai hari itu tiba.
4/
Wahai puteri-puteri Kartini! Tidak kah kau sadari, jiwa mu terlepas diri dari kebekuan oleh belenggu kodrati. Keinginan akan kebebasan yang datang bertubi-tubi telah menggiring mu ke dalam keliaran rimba yang dasyat. Disitulah ia mendekam. Rasa lapar akan kebebasan menggerogoti tubuh mu. Tetapi hati menjadi tenang. Karena dalam kebodohan yang manis, kau mengira tidak akan kembali lagi ke peraduannya.
5/
Wahai perempuan bersanggul! Sekarang hari sudah senja. Matahari makin membungkuk, bau keringat kian menyengat. Hapuslah gincu-gincu yang melekat di bibirmu. Sekarang, dengan semangat kejujuran, kau tak perlu berpura-pura lagi meneguk cawan kebebasan. Suarakan perasaan-perasaan mu. Kau bukan lagi seekor merpati putih yang terkurung disangkar emas. Terbanglah sesuka hatimu. Terbanglah kemana pun kau ingin pergi. Cobalah berbagai macam pakaian. Dakilah gunung tertinggi. Menghebatlah bersama lelaki impian mu. Berteriaklah diatas podium partai. Rebut lah pendidikan setinggi mungkin. Sesudah itu, pulang lah ke rumah dengan senyum kelegaan.
Dengan angan-angannya itulah, Kartini adalah seorang Ibu peradaban di zaman baru.
(Syafriansah Viola, Kuala Tungkal, 19 April 2014)
Illustrasi foto oleh (www.tempo.co)
Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Puisi Kartini.
Lihat link ini:Â http://www.kompasiana.com/androgini)
Silahkan Bergabung juga di FB Fiksiana Community
Salam Fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H