Saat itu aku duduk di kelas dua SD negeri No I Lubuk Linggau, aku masuk jam 07.30 dan pulang pukul 09.15.Biasa aku pulang sekolah dengan berjalan kaki, karena jarak sekolah kerumah hanyakurang lebih satu kilo meter. Untuk ukuran saat itu, atau pada tahun 1976 jarak itu terhitung dekat. Adalah biasa kalau anak-anak atau orang dewasa menempuh jarak satu KM atau bahkan sampai beberapa KM dengan berjalan kaki. Begitu bel tanda pulang berbunyi aku segera mengambil tas dan langsung pulang. Jalan yang harus kulalui adalah jalan raya, tetapi kendaraan masih sangat sepi, sepanjang jalan biasanya aku hanya berpapasan dengan satu atau dua buah mobil atau sepeda motor. Lainnya hanya beberapa orang naik sepeda atau jalan kaki. Rumah-rumahpun masih sangat sedikit. Bahkan ada jalan menurun yang sisi kiri kanannya hanya ditumbuhi oleh pohon dan semak, tidak ada rumah sama sekali. Bila melalui jalan itu, biasanya aku berlari, aku takut karena jalan itu sangat sepih, baru setelah bertemu dengan rumah aku berhenti berlari. Nafasku terengah-engah, tetapi aku akan tetap melanjutkan berjalan dan baru berhenti bila telah sampai kerumah. Kadang-kadang aku pulang bersama teman, tetapi terkadang aku pulang sendirian. Memang tidak banyak teman yang satu sekolah denganku, hanya ada beberapa orang saja, itupun yang satu kelas denganku hanya satu orang, namanya Suharto.
Seperti biasa, setiap pulang sekolah aku mendapati mak sedang sibuk dengan aktifitas kesehariannya, memasak.Aku masuk melalui pintu dapur , karena memang mak selalu menutup pintu depan dengan alasan keamanan, maklum mak hanya sendiri, karena Bak sedang bekerja. Demikian juga dengan Ayuk Tin dan Kak Ivan sedang sekolah. Ayuk Tin sudah kelas VI, Kak Ivan kelas IV. Sementara adikku Len juga sedang sekolah, ia kelas 1 dan baru saja pergi sekolah karena ia masuk jam 10.00. Jadilah mak hanya sendiri di rumah, ia mulai aktifitas memasak setelah pulang dari mengantar adikku Len kesekolah. Sambil berlari kecil aku segera masuk dapur dan ku lihat mak sedang mencicipi masakannya. “La balek, dapat berape?”, pertanyaan yang selalu terlontar dari mulut mak setiap pulang sekolah. Maksudnya dapat nilai berapa?,biasanya aku akan segera menjawab pertanyaan mak sambil aku duduk di muara pintu membuka sepatu dan kaos kaki. ”Dapat lime?”, aku menjawab dengan kurang semangat. Aku tahu bahwa nilai lima bukanlah nilai yang bagus dan tentunya tak dapat aku banggakan dihadapan mak. Mak akan tersenyum kecut atau bahkan memarahiku kalau mendapat nilai kecil. Karena itu sering juga aku menyembunyikan nilai yang aku dapat apabila nilai itu kecil. Berbeda kalau nilai yang aku dapat hari itu besar, misalnya nilai 8, 9 tau bahkan sepuluh, akau akan segera menunjukkannya pada mak sebelum ditanya. Berbagai bentuk pujian keluar dari mulut mak, itulah yang membuatku senang dan bangga.
Mak tetap melanjutkan kerja memasaknya, kali ini ia sedang menggilingcabe di atas batu penggilingan. Mak duduk di lantai yang terbuat dari semen diplester licin,sebuah batu gilingan yang cukup besar diberi lapisan serbet berada tepat didepan mak, tangan mak dengan lincah menggegam anak batu sambil digoyangkan kedepan-kebelakang atau kesamping, sehingga mengeluarkan suara gemerutuk berbenturan antara anak batu dengan batu gilingan. Dulu pernah aku tanyakan pada mak, mengapa batu gilingannya harus dilapisi serbet. Menurut mak sengaja dilapisi agar batu gilingan itu tidak langsung bergesekan dengan lantai semen yang akibatnya lantai bisa pecah.
Aku masih duduk di muara pintu sambil memandangi matahari yang mulai cerah. Cahanya menerobos masuk melalui pintu yang terbuka, ada bayangan panjang dua atau tiga kali lipat dari tubuhku yang terbentuk dari cahaya matahari itu. Karenanya kepalaku sedikit terasa hangat.
Aku mencium aroma caluk[1] yang dibakar diatas api, sehingga menggoda selera. Dalam keluarga kami caluk memang bagian dari menu yang tidak pernah absen. Caluk yang dibakar itu kemudian digiling halus bersama cabe dan sedikit garam, kemudian mak mencampurkannya dengan mangga atau koini yang dicincang halus kemudian diaduk rata dengan ditambah sedikit gula merah, jadilah ia segambal[2]yang rasanya pedas manis dan beraroma. Godaan aroma caluk benar-benar tak bisa aku tolak, aku segera menyongsong mak untuk mencicipi segambal yang sedang digiling mak. Jari telunjukku dicaletkan disegambal itu kemudian aku masukkan kemulutku, woww... rasanya nikmat, pedas manis dan enaaaaaaaaaak.
“Besiuk kudai, sepatu pek-kan di rak, baju digantungkan”, mak menegurku sambil menyuruh untuk segera berganti baju.Sepatu harus diletakkan di rak sepatu, baju sekolah harus di gantung agar tidak remuk dan besok bisa kembali dipakai. Aku sangat paham akan aturan itu, karena mak cukup tegas dengan aturan yang telah ia buat, mak akan memarahi sambil mengoceh kalau aku membiarkan sepatu berserakan atau baju tidak digantung. Aku segera kekamar, mengganti baju dengan baju kaos oblong dan celana sot. Tidak sampai tiga menit aku kembali kedapur menemui mak.
Kali ini mak sedang mengangkat periuk nasi dari atas kompor. Mak meletakkan periuk itu dilantai dan melapisi bagian bawahnya dengan lekak[3] . Mak membuka tutup periuk nasi itu, asap terlihat mengepul mengiringi uap panas. Mak membiarkan periuk itu terbuka beberapa saatsampai uapnya habis, kemudian ia menyuruhku untuk mengeluarkan nasi dari periuk itu untuk dimasukkan kedalam mangkok tempat nasi. “Tugas kaban meruah nasi, udem kele mangke kite makan”, mak menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Aku sudah sangat paham maksud mak, dengan segera aku mengambil centong nasi dan maksuk tempat nasi dan mulai meruah nasi. Up...uap panas kembali mengepul begitu centong nasiku membongkar bongkahan nasi. Terasa panas ketika uap itu menerpa keningku. “Sesenai bae, tiup kudai”, hati-hati saja, didingankan dulu, kata mak.
Periuk nasinya cukup besar, diameternya mencapati 25 cm, sehingga bisa memasak 1,5 kg beras. Mak selalu masak banyak, biasanya antara 4 sampai 6 canteng, atau satu sampai satu setengah kilo gram. Walau terasa panas aku terus menyelesaikan tugasku meruah nasi. Nasi yang sudah aku masukkan ke mangkok, segera diangkat oleh mak diletakkan di atas meja. Didalam periuk kini tersisa kerak, nasi yang terbakar sehingga menjadi keras berwarna kuning kecoklat-coklatan.Bagian kerak itu menempel di dasar periuk sehingga tidak bisa di keluarkan, mak memang melarangku mencongkel paksa melepaskan kerak dari dasar periuk, kata mak cara seperti itu bisa menyebabkan periuk bocor. Kerak itu masih cukup tebal bisa mencapai 2 cm, atau kalau dijadikan nasi bisa sama dengan 2 piring nasi.Ada cara yang diajarkan oleh mak untuk masalah kerak nasi itu,dan cara inilah yang membuat aku menjadi ketagihan.
Mak segera menyiramkan air masak kedalam periuak keatas kerak tersebut, kemudian menutup periuk beberapa saat.Setelah lebih kurang 5 menit mak akan membuka tutup periuk, hasilnya kerak sudah mengelupas dan menjadi lembut, mak menamainya dengan kerak basah.Mak akan mengajakku untuk makan kerak itu dengan segambal caluk yang baru dibuattadi, kadang kadang mak juga menggoreng ikan asin sehingga makin nikmat makannya. Aku dan mak akan makan berebutan langsung dari periuk itu, kerak yang baru ternyata rasanya sangat nimat, jauh lebih nikmat kalau makan di atas meja makan. Karena itu setiap hari aku dan mak akan melakukan ritual makan bersama ini, aku merasa beruntung karena hanya aku yang selalu berkesempatan untuk makan kerak basah bersama mak. Keringatku akan mengucur deras kalau sedang makan, sesekali sering juga lendirdari hidungku ikut kelur, segera aku akan menghisapnya. Ih....................................
***
[1] Dalam bahasa Indonesia caluk adalah terasi. Bahan makanan dari udang yang dihaluskan dan diawetkan dengan aroma yang sangat menyengat khas bau udang atau ikan yang membusuk. Biasanya caluk dijadikan sebagai bumbu tambahan untuk bahan masakan, terutama untuk sambal atau masakan pindang.
[2] Dalam dialek Tebing Tinggi, yang menjadi bahasa kami sehari-hari kata sambal selalu silapaskan dengan kata segambal.
[3] Lekak adalah anyaman dari rotan berbentuk melingkar seperti mangkok, gunanya adalah untuk melapisi alat-alat masak apabila baru diangkat supaya tidak langsung bersentuhan dengan lantai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H