Maraknya pemberitaan dan ‘perbincangan’ tentang polisi, baik yang nadanya negatif atau sebaliknya, menggugah keninginanku untuk menuliskan beberapa pengalaman pribadi berkenaan dengan polisi. Semuanya hanya sekedar berbagi cerita, tentang saya dan polisi sebagai manusia, tidak dimaksudkan untuk memberi penilaian atau bahkan merendahkan profesi keposilian yang sudah sangat terhormat itu.
Kejadian pertama, di pertengahan tahun 2005. Waktu itu aku baru saja membeli sebuah mobil kijang tua, dan sebagai orang baru memiliki kendaraan aku membutuhkan SIM. Jadilah dengan mengendarai kijang itu aku memasuki gerbang kantor polisi (POLTABES). Ketika melalui pos penjagaan, aku melihat ada beberapa polisi sedang jaga, jantungku berdebar kencang. Pertama, karena aku belum begitu ‘pas’ dalam menyetir, aku sangat gugup dan takut kalau-kalau nanti mobilku mencium pos polisi, bisa panjang urusannya. Kedua, aku memang belum memiliki SIM, jangan-jangan nanti para polisi meraziaku, pasti tidak ada kesempatan untuk menghindar. Aku coba menenangkan diri dengan membaca do’a-do’a yang memang sering aku lapaz-kan. Ajaib, dengan do’a yang dibaca itu jantungku menjadi sedikit tenang. Bersamaan denga itu aku melihat semua polisi yang ada di pos itu tiba-tiba berdiri dengan sikap sempurna sambil memberi hormat ke arah mobilku yang kepalanya pas menghadap pos itu. Aku jadi sangat terkejut, secara replek pula aku memberi senyum dan melambaikan tangan kearah mereka, sampai akhirnya mobilku melewati pos i. Dalam hati aku bertanya-tanya, kok mereka tiba-tiba memberi hormat?. Aku menduga-duga, bahwa setiap orang yang menyetir mobil melalui pos itu harus diberi hormat dengan sikap sempurna, maklum bagiku itu memang pengalaman pertama menyetir mobil dihadapan polisi. Penasaran, akhirnya aku sengaja melihat bagaimana sikap para polisi itu terhadap mobil-mobil lain. Ternyata tidak, aku sempat melihat ada dua atau tiga mobil yang melewati pos itu setelah mobilku, tetapi para polisi itu tak satupun yang berdiri memberi hormat dengan sikap sempurna. Waktu itu aku menyimpulkan bahwa sikap para polisi itu adalah efek dari do’a yang aku baca. Tetapi belakangan baru aku tahu alasan yang rasional. Setelah di rumah aku membuka dan melihat surat-surat kendaraanku, ternyata mobil yang baru saja aku beli adalah milik seorang perwira polisi yang bertugas di POLTABES itu, wah inilah jawabannya, para polisi itu mengira akau adalah komandan mereka.
Kejadian kedua, masih di markas POLTABES dan pada tahun yang sama. Aku ke sana untuk meminta keterangan kehilangan surat penting. Kali ini aku mengendarai sepeda motor. Begitu turun dari motor, tiba tiba ada dua orang polisi yang kelihatan masih sangat muda melintas di hadapanku. Mereka mendadak berhendi berjalan, berdiri dengan sikap sempurna dan secara serentak memberikan hormat padaku. Aku tak habis pikir, apa yang ada di benak mereka, apa mereka mengira aku adalah komandan mereka? Sampai sekarang aku tak pernah mendapatkan jawabannya. Yang jelas waktu itu aku tidak membaca do’a apa-apa.
Kejadian ketiga. Sekitara pertangahan tahun 2007, di jalan utama kotaku. Waktu itu aku terburu-buru mengantarkan anakku yang akan les mengaji. Karena lokasinya diseberang jalan, dan kalau harus menyeberang harus memutar cukup jauh, maka aku putuskan untuk memotong jalan dengan ‘melawan arus’, toh saat itu kondisi jalan agak sepi dan jln yng aku potong hnya sekitng 200 meter. Tapi naas, seorang polisi lalu-lintas mengamatiku dari jauh, dengan motornya yang besar ia menyusulku dan menyetop perjalananku. “Maaf pak, Bapak salah jalan”, kata pak polisi setelah memberi hormat. Aku sangat gugup, karena sadar betul bahwa memang telah melakukan kesalahan, belum lagi SIM milikku telah habis masa berlakunya. Aku sangat gugup, sambil membuka helem akupun mencoba minta maaf pada Pak Polisi. Tetapi, ditengah keteganganku, pak polisi sangat terkejut ketika aku membuka helem. “Oh....Pak ustaz,...maaf pak, silahkan lanjutkan, hati-hati Ustaz”, pak polisi itu bersikap sangat hormat padaku. Aku jadi gelagapan, ustaz yang mana?, siapa yang ustaz, aku tak habis pikir. Lagi-lagi pak polisi salah sangka terhadapku, dikiranya aku ustaz. Ya mungkin wajahku mirip dengan ustaz yang sangat dihormati oleh pak Polisi itu.
Dua kejadian itu, secara kebetulan saja aku alami, tentunya dibalik usia yang sudah panjang ini banyak lagi kejadian bersama Pak Polisi yang bila di ingat terkadang menjadi geli sendiri. Tetapi dibalik itu semua adalah bijak sana bila kita bisa mengambil hikmahnya. Seperti pernah dinasihatkan oleh Imam Syafi’i “Iza Nazorta Syaian Takun Ibroh”, bila kalian mengalami suatu kejadian, jadikanlan ia sebagai pembelajaran. Pada peristiwa yang aku alami, sangat jelas bahwa kesalahan yang kita lakukan sangat membuat kita takut. Sekecil apapun kesalahan itu, akan sangat mengganggu kenyamanan. Misalnya tidak punya SIM, menjadi jantung berdebar bila berpapasan dengan polisi. Kemudian bisa juga diambil pembelajaran bahwa ternyata polisi juga adalah manusia, dibalik tugasnya yang sangat berat dan menuntut ketegasan, dia juga selalu mempertimbangkan aspek kemanusiaan, misalnya ia menjadi lembut dan sangat santun dan hormat bila ternyata yang dihadapi adalah seorang ustaz atau bahkan komandannya. Karena itu, supaya kita nyaman, janganlah melakukan kesalahan, berusahalah untuk tidak melanggar. Selamat bertugas Pak Polisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H