Mohon tunggu...
Syafran Afriansyah
Syafran Afriansyah Mohon Tunggu... Dosen - ...

Seorang ayah dengan tiga anak, seorang isteri, tinggal di Kota Palembang. Berikhtiar agar hidup dapat berguna bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Panggung Sandiwara

26 Februari 2011   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Panggung Sandiwara

 

“Dunia ini…panggung sandiwara,

Cerita...yang mudah berubah....

Setiap insan pasti punya peranan

yang harus  ia mainkan....”.

 

            Lirik lagu itu tiba tiba menyelusup lembut menembus anak telingaku, dan secara replek pula syaraf-syaraf ku bereaksi serasa dibelai  oleh sebuah jemari lentik nan lembut. Dalam keterkejutan itu  bayangan cantik seorang gadis muda segera  memenuhi memori kepalaku, seolah dia hadir dan menatap dengan penuh makna. Ya, sorat matanya yang teduh terasa begitu tajam tertuju padaku dan itu dipadu pula dengan sebaris senyum yang mempertemukan bibir atas dan bawah dengan pola yang sempurna. Aku merasakan degup jantungku mengalami akelerasi begitu cepat, membangkitkan sesuatu. ...........Jari –jariku yang sejak ba’da maghrib tadi menari-nari diatas tuts-tuts kiboard komputer tuaku tiba-tiba terasa kaku, gemetaran tak sanggup mengimbangi getaran yang ditimbulkan oleh sosok wajah seorang Nike Ardila, almarhumah yang sedang menyanyikan lagu itu dalam vidio klip di monitor komputerku.

            Aku melirik ke sudut bawa monitor komputerku, ada angka 11.58 PM. Penunjuk waktu yang berarti aku telah berada pada masa-masa injuri time tanggal hari ini, sudah saatnya aku istirahat. Namun. walupun komputer telah aku matikan bayangan wajah manis itu tetap saja hadir. Kupejamkan mataku sambil berbaring, tetap saja ia mengikutiku, bahkan kali ini tidak hanya satu. Wajah-wajah gadis belia dalam setting waktu tahun 1990-an awal secara silih berganti hadir. Duh, sebuah memori saat-saat bergairahku diawal-awal kakiku mulai menapaki rindangnya lapangan sepakbola IAIN Raden Fatah betul betul terasa seperti live hadir didepan wajahku. Sosok cantik N, S, T dan lainnya ikutan bertamu dalam kesendirianku malam itu. Degup jantungku terasa makin berirama bersamaan dengan ujung-ujung jariku yang terasa sedikit bergetar, aku mulai faham akan gejala itu, sebuah fenomena normal pada setiap turunan adam.

            Aku mencoba mengalihkan alam pikiranku spaya tidak teralu jauh terjebak dalam romantisme masa lalu itu. Aku mengingat-ingat sesuatu, dan muncullah beberapa bait berikut;

            ”All the World’s stage

                        And all the men and women merely player

                                    They have their exits and their entrances

                                                And one man in his time plays mani part….”

 

Itulah  penggalan kata-kata Shakespeare dalam karyanya “As You like It”.    Kalimat-kalimat yang kurang lebih semakna dengan bait-bait yang dinyanyikan oleh Nike Ardila atau Ahmad Albar. Perlahan bayangan ”tamu-tamuku” satu persatu pergi, pikiranku tidak lagi tertarik untuk bernostalgia dengan mereka, tetapi kini aku mulai tertarik dan sibuk untuk memahami makna dari kata-kata dalam bait lagu atau ungkapan sang Shakespeare.

Baik lagu panggung sandiwara ataupun bait bait karya Shakespeare, bagiku sarat makna dan sungguh menggairahkan untuk dinikmati. Mataku yang tadi terpejam kali ini betul betul kembali terbuka, komputer yang tadi telah mulai ’tidur’ kembali kubangunkan untuk menemani kesendirianku. Angka di sudut bahwa monitor komputerku mulai kembali terlihat kali ini yang tertulis adalah 03.00. Tak ada suara-suara di sekitarku, kecuali tik, tik, tik detak jam dinding yang sangat jelas terdengar pertanda sebagian besar makhluknya sedang istirahat tidur. Aku mengingat-ingat sesuatu, dan ya... aku ingat sebuah nama, nama itu adalah Erving Goffman, seorang yang dengan setia menekuti ilmu sosial. Di kalangan anak-anak muda di fakultas-fakultas sosiologi ataupun siapa saja yang tertarik, nama ini tak akan asing lagi, dia seorang tokoh yang sangat berpengaruh dengan teori-teorinya. Di antaranya yang masih dikembangkannya hingga ajal menjemputnya di awal tahu 1980-an adalah apa yang populer dengan ”Dramatugi”.

Dramaturgi telah berkembang menjadi sebuah teori yang ”digemari’ oleh sebagian sosiolog. Konsep dasarnya adalah dengan memandang bahwa dunia ini adalah sebuah panggung sandiwara, manusia-manusia adalah para pemeran yang akan memainkan peran-peran sesuai dengan tuntutan skenario. Layaknya sebuah panggung sandiwara, terdapat apa yang dinamakan frot stage dan banck stage. Sebagai pemeran manusia berada di front stage, berada di atas panggung untuk memerankan tuntutan skenario yang dirancang oleh ”sutradara”yang berada di back stage.  Dengan memahami konsep Dramaturgi seperti ini, ada sedikit kebanggaan dalam diriku, bahwa lagu panggung sandiwara yang aku sukai ternyata mempunyai makna mendalam, dapat merepresentasikan  sebuh teori sosiologi yang terkenal itu.

Aku tersenyum, kalaukah kemarin ketika aku mengenakan sarung, baju koko, peci dan sal putih bersih terlilit di leher, berdiri dan bersuara lantang di atas mimbar sebagai seorang khotib Jum’at, mungkinkah aku saat itu sedang memainan sebuah peran, dan bisa saja besok pagi aku akan menanggalkan pakaian itu untuk mengenakan kaos oblong dan celana jean lengkap dengan topi kebanggaanku untuk memainkan peran lainnya, atau ketika aku berpakaian kemeja dengan dasi di leher berdiri anggun di depan para mahasiswaku. Itu semua dalam rangka sebuah peran, aku sedang menjadi aktor dalam permainan itu?.  Dibalik senyumku aku mendapati sebuah pemahaman lagi bahwa apapun peran yang akan aku lakoni aku harus memerankannya dengan baik, konsep peran harus aku pahami dan kuasai dengan sempurna dan tentunya dalam beberapa hal aku juga harus berani ’berimprovisai’ untuk penyempurnaan peranku. Bila tidak bukan mustahil para penonton akan mencemoohkan aku, lalu mereka akan beramai-ramai meninggalkan akau di atas panggung atau bisa juga mereka teriak-teriak menyuruh aku turun...? 

Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah,......... aku mulai menguap, tampaknya aku harus memerankan peran berikutkan, yaitu peran sbagai orang yang tidur pulas...semoga mimpi yang indah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun