Mohon tunggu...
Syafirda AzmiFahriyanti
Syafirda AzmiFahriyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Brawijaya

Saya mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya yang mendalami minat pada isu-isu gender, disabilitas, dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Pendengaranku yang Rusak, Aku Mengalami Deprivasi Bahasa

21 Juni 2023   08:03 Diperbarui: 21 Juni 2023   08:09 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster ajakan untuk belajar bahasa isyarat 

Bahasa merupakan media penting sebagai alat berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa kita akan sulit untuk saling memahami satu sama lain. Bahasa juga dapat menjadi sebuat ciri khas atau budaya dari suatu kelompok. Secara Umum, bahasa terdiri dari bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal merupakan komunikasi yang berbentuk lisan atau tulisan. Sedangkan bahasa non verbal pengkomunikasian menggunakan bahasa tubuh, seperti gerakan tangan, raut wajah, tingkah laku, tanda, dan lain sebagainya. Bahasa isyarat salah satu contoh bahasa non verbal. Selama ini masyarakat hanya mengenal bahasa verbal. Padahal ada juga bahasa non verbal yang digunakan teman-teman Tuli.

Menurut KBBI, Tuli berarti tidak dapat mendengar. Teman-teman Tuli lebih senang dipanggil dengan sebutan Tuli daripada tunarungu karena itu merupakan bagian dari budaya dan identitas mereka. Penulisan kata Tuli diawali dengan huruf kapital "T" sebagai identitas budaya yang memiliki karakteristik tertentu dan merupakan hasil dari perubahan makna dari patologis ke sosiokultural. Sedangkan penulisan dengan huruf "t" kecil lebih mengacu pada sudut pandang medis yang berarti rusaknya pendengaran serta sebutan tunarungu. Bahasa isyarat atau Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) juga merupakan budaya teman-teman Tuli. Rahmawati dkk (2019) mengungkapkan bahwa ekspresi wajah dan gerakan kedua tangan merupakan ciri khas dari bahasa isyarat yang merupakan bagian dari budaya Tuli secara keseluruhan.

Pemenuhan hak-hak bagi masyarakat Tuli hingga saat ini belum mendapat dukungan maksimal dari seluruh pihak, baik dari lingkungan sosial maupun pemerintah. Hal ini terlihat pada lingkungan sosial yang lebih banyak mengajari bahasa verbal sejak usia kanak-kanak. Selain itu, diresmikannya Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan belum resminya Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) merupakan salah satu bentuk kurangnya dukungan dari pemerintah. Peresmian SIBI dianggap sebagai deprivasi bahasa atau perampasan bahasa bagi teman-teman tuli. Mengapa demikian? SIBI yang diterapkan pada Sekolah Luar Biasa (SLB) dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) merupakan adaptasi dari tata bahasa lisan dan adaptasi inilah yang justru membuat banyak masyarakat Tuli kesulitan untuk memahaminya (Hidayat, 2022). SIBI juga banyak menyerap kosa isyarat ASL (American Sign Language) yang tidak dipahami oleh masyarakat Tuli. Yohans, dkk (2013) juga menuturkan bahwa SIBI bukanlah representasi dari bahasa isyarat asli Indonesia. SIBI dibuat oleh orang dengar tanpa melibatkan teman-teman Tuli sehingga mereka sulit untuk berkomunikasi dengan teman dengar.

Hingga saat ini Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) dan gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) masih memperjuangkan BISINDO agar dapat diresmikan sebagai pengantar komunikasi di kurikulum pendidikan Indonesia karena sejatinya BISINDO dituturkan secara alamiah oleh masyarakat Tuli itu sendiri.  Peresmian SIBI dan penolakan BISINDO merupakan sebuah diskriminasi dan deprivasi bahasa bagi masyarakat Tuli karena pemerintah memaksa mereka untuk menggunakan bahasa yang tidak sama sekali mereka mengerti.

Teman-teman Tuli hanya ingin mendapatkan haknya untuk dapat berkomunikasi sehari-hari seperti biasa. Alangkah baiknya kita dapat memahami kebutuhan komunikasi mereka. Minimnya literasi mengenai bahasa isyarat di masyarakat menyebabkan orang awam kurang peduli dan sulit berkomunikasi dengan teman-teman Tuli. Maka akan lebih baik apabila bahasa isyarat disosialisasikan pada masyarakat luas agar kita dapat berkomunikasi dengan teman-teman Tuli lebih nyaman. Walaupun hanya mempelajari dasar-dasar bahasa isyarat, hal tersebut akan sangat membantu kita untuk berkomunikasi dengan teman-teman Tuli. Mari hentikan diskriminasi dan mari saling bergandengan tangan untuk menjadi agen perubahan Indonesia yang lebih ramah disabilitas.

 

DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati, A., Hafiar, H., & Karlinah, S. (2019). Pola Komunikasi Kaum Tuli dalam Media Baru. KAREBA: Jurnal Ilmu Informasi, 8(2), 231-246

Yohanes, J. A., Arjawa, I. B., & Punia, I. (2013). Bahasa Isyarat Indonesia dalam Proses Interaksi Sosial Tuli dan "Masyarakat Dengar" di Kota Denpasar. Open Journal System, 1-15.

Hidayat, F. (2022). PERSEPSI GURU DAN PUSTAKAWAN SLB NEGERI 1 SUNGAI. Jurnal Perpustakaan dan Ilmu Informasi, 4(1), 1-12.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun