PendahuluanÂ
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pajak karbon telah diterapkan di Indonesia. Pajak ini terkait dengan emisi karbon yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Tujuan dari penyerapan karbon adalah untuk mengurangi produktivitas industri dan mengalihkannya ke kegiatan rendah karbon dengan emisi tinggi yaitu kegiatan ekonomi hijau yang rendah emisi karbon. Memanfaatkan obligasi karbon yang diterbitkan oleh Badan Energi Indonesia (BEI) pada tanggal 26 September 2023, negara ini telah menyelesaikan program penyeimbangan karbonnya. Bursa karbon ini memungkinkan para pemilik bisnis untuk membeli dan menjual emisi karbon. Emisi karbon dioksida (CO²) dikenakan pajak sebesar Rp 30 per kilogram.
Masih perlu ditanyakan tentang efektivitas pajak karbon dalam mengurangi emisi karbon. Meskipun pajak karbon dapat membantu pemilik bisnis mengurangi emisi karbon, masih ada beberapa kekurangan. Salah satu kesalahpahaman utama adalah bahwa penyeimbangan karbon hanya berlaku untuk sektor-sektor yang relevan, seperti sektor energi, dan tidak berlaku untuk sektor-sektor lain yang secara signifikan berkontribusi terhadap produksi emisi karbon. Selain itu, jejak karbon juga dapat menyebabkan peningkatan harga karbon di pasar domestik, yang dapat berdampak negatif terhadap biaya operasional bisnis. Oleh karena itu, koordinasi antara Kementerian dan Asosiasi diperlukan untuk implementasi peta jalan serta tinjauan strategi pengurangan emisi karbon yang terkait dengan tujuan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC).
Saya akan mengeksplorasi dan berbagi pemikiran saya tentang pajak karbon yang disebutkan dalam Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Analisis Isu Efektivitas Pajak Karbon Terhadap Implementasi Perdagangan Karbon Terkait:Â
Dampak Terhadap Penerimaan Pajak Negara
Pajak karbon di Indonesia diterapkan untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penerimaan pajak negara. Pajak ini dikenakan pada sektor energi, seperti produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dengan tarif terendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO²e). Potensi penerimaan pajak karbon dihitung menggunakan metode exponential smoothing dan diproyeksikan mulai tahun 2019 hingga tahun 2025. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pemerintah dapat memperoleh potensi penerimaan pajak karbon sebesar Rp23,651 triliun di tahun 2025.
Penerapan pajak karbon di Indonesia juga diharapkan dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif mengenai pajak karbon melalui berbagai media untuk meningkatkan efektivitas pajak karbon.
Namun, penerapan pajak karbon juga memiliki beberapa tantangan, seperti kebocoran pajak dan perluasan sektor yang berkontribusi pada emisi karbon. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan menerapkan kebijakan lain yang mendukung penerapan pajak karbon, seperti pengembangan infrastruktur transportasi umum dan penyediaan kendaraan listrik yang terjangkau.
Data Pelaporan Efektivitas Pajak Karbon Terhadap Implementasi Perdagangan Karbon
Penetapan harga karbon telah menjadi salah satu strategi pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan mengelola perubahan iklim. Penjelasan Aspek-Aspek Yang Harus Diperhatikan Untuk Meningkatkan Efisiensi Penangkapan Karbon: