Perkembangan baru dalam bioteknologi, rekayasa genetika, dan teknologi reproduktif telah menjadikan kaum perempuan teramat sadar akan bias gender dari sains dan teknologi. Bahwa seluruh paradigma sains adalah karakteristik patriarkhal, anti alam dan kolonial, serta bertujuan untuk menjauhkan kaum perempuan dari daya generatif mereka seperti halnya daya produktif alam. Pendirian Jaringan Perlawanan Internasional terhadap Rekayasa Genetika dan Reproduktif (FINNRAGE) pada tahun 1984, kemudian diikuti dengan sejumlah kongres penting pada tahun 1985 di Swedia dan di Bonn, tahun 1988 di Bangladesh, dan tahun 1991 di Brazil. Gerakan ini jauh melampaui gerakan perempuan atau gerakan kaum feminis yang didefinisikan secara sempit. Di Jerman kaum perempuan yang berasal dari serikat buruh, gereja, dan universitas, kaum perempuan di perdesaan dan perkotaan, kaum buruh dan ibu rumah tangga memobilisasi diri mereka melawan teknologi itu; implikasi etis, ekonomis, dan kesehatan mereka terus menerus diperdebatkan.
Menurut Strong (1995) kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli tradisional. Masyarakat ini berbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Mereka mengetahuinya dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan empat elemen pemberi kehidupan, yakni, tanah, air, udara, dan api (energi); serta mengajarkan penghormatan kepada kesatuan dan kesinambungan dari seluruh kehidupan. "Tidak ada jalan lain untuk perdamaian kecuali semua orang harus meninggalkan gerbang istana persepsi yang relatif, turun ke padang rumput, dan kembali ke jantung alam yang non aktif. Marilah kita katakana bahwa kunci perdamaian terletak dekat di bumi".
Hutan bagi orang India mempunyai makna sakral yang dikenal dengan sebutan Aranya Sanskrit . Gerakan Chipko dan kepercayaan Aranya Sanskrit menurut Jayanta Bandoyopadhay dan Vandana Shiva, dua orang aktivis lingkungan ternama, adalah memiliki basis ekologis yang kuat. Selain basis ekologis yang kuat gerakan Chipko mempunyai perspektif perempuan yang tangguh. Gerakan Chipko terdiri dari para perempuan dari organisasi "akar rumput" yang sangat sadar akan keterkaitan isu perempuan dengan lingkungan. Dalam hal kasus penebangan hutan tersebut, para anggota gerakan Chipko menilai kepentingan perempuan telah dikorbankan demi kepentingan bisnis. Ada dua hal yang menarik untuk disimak argumentasi gerakan Chipko. Pertama, perempuan di India, seperti di Negara berkembang lainnya, merupakan korban pertama dari penebangan hutan. Pohon-pohon memberikan empat kebutuhan utama bagi keperluan rumah tangga: makanan, bahan bakar, produk-produk rumah (termasuk peralatan membersihkan rumah, peralatan masak), dan menghasilkan ekonomi rumah tangga. Para prempuan ini tinggal di desa-desa yang kebanyakan laki-lakinya pergi ke kota untuk bekerja. Para perempuan ini dengan demikian harus menanggung beban kerja seperti mengambil air, dan mengambil ranting-ranting pohon untuk bahan bakar sendiri. Demikian pula untuk mencari penghasilan rumah tangga. Akibat penebangan pohon- pohon yang dilakukan oleh perusahaan besar, pohon menjadi semakin langka dan ini menyulitkan kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, Di dalam memutuskan kebaikan bagi desa mereka perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, perempuan cenderung tersisih dari penentuan kebutuhan desa mereka, padahal kegiatan desa merupakan kegiatan yang sebagaian besar dijalankan oleh perempuan seperti misalnya penyediaan air bersih.
Di Venezuela ada sebuah organissi yang mengambil tipe 'simbolik kultural' terkenal yakni, AMIGRANSA (Asociation de Amigos en Defensa de la Gran Sabana) atau Asosiasi Sahabat untuk perlindungan Padang Rumput Besar. Sebuah organisasi LSM yang berdiri tahun 1985 hasil inisiatif 5 orang perempuan Mereka merancang berbagai strategi kelompok. Tujuannya adalah memelihara alam lingkungan dengan menentang berbagai aktivitas yang merusak, dan juga mengajukan berbagai proposal alternatif sebagai jalan keluarnya. Kegiatan yang utama adalah mempertahankan Tanah Nasional Padang Rumput Besar Canaima (La Gran Sabana Canaima) yang merupakan taman nasional kelima terbesar di dunia. Keberhasilan organisasi ini pada dasarnya bertumpu pada kemampuan mereka dalam memperoleh akses dan sekaligus penggunaan informasi dan sistem-sistem simbolik (khususnya media) sebagai suatu mekanisme utama melalui isu-isu lingkungan yang dibangun dan dikonsumsi sebagai suatu budaya politik baru.
Bagaimana dengan Indonesia? Wacana di berbagai Negara tersebut menjadi semakin unik karena dengan caranya sendiri-sendiri, banyak perempuan Indonesia yang kemudian juga melakukan atas subyek yang dianggap menguasai lingkungan. Corak perjuangannya beragam. Mereka tidak hanya melakukan protes atas ketetapan pembangunan yang merugikan perempuan, namun mereka juga mengungkapkan pengalaman sekaligus kritik secara mendalam tentang kondisi masyarakat lokal dan pengelolaan sumber- sumber alam yang tidak ramah kepada manusia dan perempuan. Hal itulah yang kemudian mengantarkan mereka memperoleh penghargaan atas kepedulian mereka dalam menghargai kearifan tradisional terhdap alam. Beberapa kisah kepeduian perem puan Indonesia terhadap lingkungan salah satunya yaitu :
 Di Papua ada seorang perempuan bernama Yosepha Alomang, Koordinator lembaga Hak Asasi Manusia Amungme, Papua. Banyak perjuangannya dalam mebela hak asasi kaum perempuan, yang terkait dengan lingkungan adalah ketika pada tahun 1992 dia pernah menggerakkan ratusan kaum perempuan Amungme untuk membuat tungku api besar-besaran di bandara Timika yang membuat penerbangan berhenti total. Aksi para perempuan ini merupakan bentuk protes atas perampasan tanah dan kebun sayur masyarakat Timika oleh PT Freeport yang berkepentingan membangun sejumlah gedung dan hotel di daerah Timika.Â
Dari kasus yang tidak terselesaikan selama bertahun- tahun ini, dengan ditemani para perempuan- perempuan Papua, Yosepha kemudian mengajukan gugatannya terhadap PT Freeport melalui pengadilan federal dan Negara bagian New Orleans Amerika Serikat. Pada tahun 1993 ia bergabung dengan lembaga Masyarakat Adat Amungme. Namun setahun kemudian ia ditangkap karena dituduh membantu Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H