Mohon tunggu...
Syafiq Muhammad
Syafiq Muhammad Mohon Tunggu... lainnya -

Mencoba kembali menjadi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Kenangan Lelaki Tua

10 November 2013   10:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:21 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mediamacarita.blogspot.com

[caption id="" align="aligncenter" width="510" caption="mediamacarita.blogspot.com"][/caption]

Oleh: Syafiq (13)

Lelaki tua itu menangis di antara wajah-wajah gembira. Di kerumunan orang-orang bersepeda tua yang saling senyum dan tertawa. Tapi lelaki itu malah menangis. Matanya memandang sekeliling, seperti menemukan sesuatu yang hilang. Awalnya ia hanya meneteskan air mata tanpa bersuara, lantas sesenggukan, kemudian perlahan mulai berteriak-teriak. Jelas saja orang-orang di sekelilignya heran. Seorang dari mereka bertanya “Kakek, kenapa?” tak ada jawaban dari lelaki tua itu, ia malah terus sesenggukan.

Lelaki tua itu memang menemukan miliknya yang hilang, kenanganlah yang ia temukan. Berpuluh tahun lalu, ia pernah melarikan diri ke tempat ini. Nama kota ini melejitkan dirinya ke masa lampau. Ketika kotanya digempur oleh ribuan pasukan sekutu, bersama kawan-kawannya, ia berlari melintas semak-semak, merasakan nyeri di telapak kaki, juga pegal yang amat sangat di sekujur tubuh.

“Ayo cuk! Cepet. Dibedil londo ndasmu, kapok koen!”1

Ia sungguh masih sangat hafal teriakan kawannya, Suplo ketika ia tersandung batu dan meringis kesakitan. Suplo menyuruhnya bergegas. Dengan seringainya yang membikin tertawa. Meski dalam keadaan yang amat genting, ia dan kawan-kawannya tak pernah kehilangan canda-canda.

“Londo ancene assu! Pengen tak suduk wetenge ngawe sunduk sate!”2Hendro berkelakar sambil berkacak pinggang. Mereka terpingkal bersama. Inilah yang mereka lakukan di sela-sela perjalanan ke Mojokerto.

“Arek suroboyo pantang keder melawan sekutu” Ujar Yono, disambut tepuk tangan ala kadarnya dari kawan-kawannya.

“Cak Hendro, lusa kita mendengar dawuh Mbah Hasyim dan para kiai lainnya tentang jihad melawan sekutu. Juga Pidato Cak Tomo seng mantab iku. Saiki aku wes gak ngurus blas. Mati opo urip, seng penting merdeka!3 Yudi, yang paling muda diantara mereka berkata tegas. Matanya memancarkan tekad. Ia kemudian melirik orang yang diajaknya bicara, Hendro.

“Iyo, dawuhe mbah Hasyim, seng mati pas perang ngelawan sekutu iki bakal mati syahid, awak-awak seng dapurane koyok ngene iki bakale mlebu surgo”4Justru Joko yang menimbali Yudi, Hendro memilih hanya tersenyum.

“Hei, Dirman, yaopo awakmu? Isek wedi mati ta?”5

Itu pertanyaan Joko yang ditujukan kepada lelaki tua itu, ia juga masih sangat menghafalnya. Ia ingat waktu itu menjawab dengan amat semangat.

“Londo jancuk! Ketemu tak gorok gulune. Matamu yo Jok, sopo seng wedi?6

Kali ini ia tersenyum mengingat itu. Alangkah detak perjuangan itu masih bersemayam di dadanya hingga kini. Alangkah geram itu masih juga masih membara pula. Orang-orang di sekitar lelaki tua itu mulai merasa aneh. Tentu saja mereka berfikir bahwa lelaki tua ini mungkin orang gila. Andai saja mereka tahu bahwa lelaki tua ini dulu bahkan pernah melalui rute yang akan mereka lewati dengan jalan kaki. Mereka mungkin akan mengubah pandangannya terhadap lelaki tua ini jika melihat dua bekas peluru di bahu kirinya. Ah, mungkin karena kadung berpikiran negatif, dikiranya bekas luka tembak itu adalah bekas patukan burung bangkai.

Lelaki itu terlalu sibuk dengan kenagannya untuk hanya diusik dengan pandangan-pandangan aneh dari orang-orang di sekitarnya. Ia asik mengingat-ingat kenangan itu, dimana malam dilewatinya dengan membakar ranting-ranting kayu kering untuk meredam gigil yang dibawa oleh angin. Sekalian akar-bakar ubi untuk ganjal perut yang cepat sekali lapar. Kadang-kadang ia merenung bersama semua kawannya, membayangkan keadaan kota tercinta, yang diserang sekutu dengan membabi-buta.

Sebelumnya raung pesawat memenuhi langit Surabaya. Menghujani kota dengan pamflet-pamflet berisi ultimatum dari Mayor Jendera E.C.Mansergh yang memerintahkan dan mengancam rakyat Surabaya agar menyerahkan diri. Tentu saja ini penghinaan, arek-arek suroboyo meraung marah. Raungan mereka bahkan melebihi raungan pesawat sekutu. Resolusi jihad yang sudah dirumuskan Mbah Hasyim kini tiba untuk diwujudkan, bahwa,

“Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja.

Cak Tomo juga berhasil membakar semangat arek-arek untuk menyongsong kematian dengan perjuangan. Lelaki tua itu seperti berubah menjadi singa seketika itu, begitu juga kawan-kawannya. Mereka adalah sing-singa lapar yang siap menerjang sekutu. Keadaan memaksa mereka menuju kota tetangga, Mojokerto. Nyawa jangan terlalu cepat melayang. Perjuangan harus dituntaskan. Maka tak apa sejenak bersembunyi, itung-itung melemaskan otot, agar kematian tak menjadi begitu mengerikan. Malah, betapa indahnya mati melawan penjajah-penjajah itu. Tiap tetesan darah dihargai tuhan dengan sekeping tanah-tanah surga.

Ia meneteskan air matanya lagi, setelah sempat mengulas senyum dari wajah keriputnya. Kali ini ia mengusapnya, berusaha mengendalikan dirinya. Dari corong-corong, panitia mengumumkan kepada peserta untuk bersiap. Start akan dimulai beberapa menit lagi.

“Aku ingin anak cucuku bisa menikmati kemerdekaan kelak” Ujar Cak Hendro kepada semua kawannya.

“Cukup kita saja yang merasakan zaman macam ini”

“Ya”

Rombongan sepeda tua itu mulai bergerak. Lelaki tua berada di antaranya. Masih terkenang-kenang olehnya semua itu. Semuanya. Tiap langkah yang melelahkan. Degup jantung yang mengerang. Ia mengayuh sepedanya dengan sempoyongan. Jalan raya dilihatnya menjadi ganda. Matanya berkunang-kunang. Ia terlalu mabuk oleh masa lalu. Ia tak menyadari bahwa dirinya sudah renta. Hingga beberapa ratus meter dikayuhnya sepeda itu. Ia ambruk.

___

“Kau tidak kawin lagi, ayah?”

“Kenapa, apa maksudmu?

“Kau hanya mempunyaiku seorang. Kenapa dulu kau tak kawin lagi?”

“Kau tahu, nak. Kutinggalkan ibumu sendirian di kota ini. Ia mendekap dirimu yang terus saja menangis ketika mendengar desing peluru atau ledakan mesiu hingga nyawanya terbang ditiup angin. Maka, siapa perempuan yang bisa menggantikan ibumu?”

“Ya, aku tahu. Kau menceritakannya tiap kali aku akan tidur”

“Jadi, cukuplah ibumu saja. Kalau pun ada istri ke-2, itu adalah kota ini, Surabaya. Yang menyimpan bertumpuk-tumpuk kenanganku dengannya.

___

“Ayah! Ayah! Ayah!”

Mata lelaki tua itu terbuka perlahan. Dilihatnya anak satu-satunya itu menangis.

“Hei nak, kenapa kau terlihat begitu sedih. Ada apa?”

Sepertinya ia lupa, bahwa seminggu yang lalu ia tak pamit kepada  anak satu-satunya itu untuk pergi ke Mojokerto dan bersepeda bersama ribuan orang lain. Tapi sebenarnya ia tidak lupa. Lelaki tua itu ingin terlihat kuat didepan anaknya. Memaksakan tersenyum meski nyeri seluruh wajah.

“Kau ini yang kenapa. Pergi begitu saja tanpa pamit. Aku bingung mencarimu!”

“Hehehe. Aku tak mau merepotkanmu. Kupikir kau juga tidak akan mengujinkanku bukan?”

Tatapan lelaki tua itu seperti minta persetujuan kepada anaknya. Tentu saja, sang anak masih kesal campur sedih campur bahagia. Kesal karena ayahnya begitu saja pergi, sedih karena melihat kondisinya yang amat lemah, bahagia karena sudah seminggu ayahnya memejamkan mata. ia bahkan sempat berfikir bahwa mata lelaki yang amat dikasihinya itu akan terbuka lagi.

“Tentu saja. Aku tak akan mengijinkan. Tapi, jika kau mau bilang, tentu aku akan mengantarkanmu kesana. Tidak perlu mengayuh sepeda butumu itu. Kuantar pakai mobil”

“Dasar anak muda. Kau piker mobilmu bisa menggantikan kenyamananmu mengayuh sepedaku yang sebut butut itu. Mobil sama sekali tidak memberiku gairah nak. Dulu bahkan aku berjalan kaki ke tempat itu”

“Yayaya. Baiklah lelaki tua. Aku akan memboncengmu kalau begitu”

“Nah, itu ide yang bagus” Keduanya tersenyum. Saling menatap penuh arti.

“Aku sungguh mengkawatirkanmu, ayah…”

“Kau selalu, begitu”

“Sungguh!”

“Iya, aku mengerti”

“Jadi?

“Sepertinya aku sudah tidak bisa berdiri lagi. Lalu bagaimana kau akan memboncengku. Hehehe. Tawa lelaki tu itu terdengar menyedihkan.

Jika kau pernah melihat mata prihatin sekaligus sayang, seperti itulah anak lelaki itu memandang kepadanya.

“Kuusahakan, bagaimanapun caranya”

“Tidak perlu repot-repot nak, teman-temanku sudah menjemputku. Lihatlah di sekelilingmu. Aku akan segera pergi bersama mereka”

“Ayah...”

“Kau ingat baik-baik kata-kataku. Kau tahu siapa pahlawan sebenarnya?

“Ya, ibu! Kau selalu mengatakannya setiap waktu bukan. Sampai aku bosan mendengarnya”

“Kau tidak beruntung, ketika ditinggal oleh ibumu ketika masih kecil. Kau akan sangat bahagia menatap matanya yang teduh, melihat senyum gingsulnya, ucapannya yang lembut. Kau adalah anak pahlawan, nak. Ibumulah yang mendorongku untuk berani melawan sekutu. Ialah yang membuatku bagaikan berbaju baja menghadang senjata-senjata musuh. Ia, ibumu. Pahlawan yang sering kali dilupakan, sering kali tak dicatat, bahkan oleh anaknya sendiri. Ia yang memberi dan selalu memberi. Cinta sejati, yang sekarang banyak dikhianati, bahkan oleh anaknya sendiri. Ibumu...”

Lidah sudah begitu kaku untuk digerakkan. Sekedar menanggapi perkataan ayahnya.

“Berbaktilah kepada ibumu, nak...”

“Bagaimana bisa?”

“Jagalah tanah yang diperjuangkannya. Dia juga ibumu. Ibu pertiwi namanya...”

“Aku, tahu...”

“Baiklah, boleh aku pergi sekarang?

“Ayah...”

“Hei, nak! Aku hanya bercanda!”

“Kenapa pucat pasi begitu mukamu!”

“Ahhh, dasar orang tua!”

___

1.“Ayo cepat, ditembak kepalamu sama Belanda, tahu rasa!”

2.“Belanda memang jancuk, kepengen tak tusuk perutnya pakai tusuk sate”

3.“Sekarang saya sudah tidak peduli. Hidup atau mati yang penting merdeka!”

4.“Kata Mbah Hasyim, mati berperang melawan sekutu itu syahid. Kita-kita yang model begini ini akan masuk surga”

5.“Heh Dirman, bagaimana? Masih takut apa enggak?”

6.Belanda Jancuk, kalau ketemu tak gorok lehernya. Matamu ya Jok, siapa yang takut?”

___

Baca karya temen-temen lain disiniGabung di facebook Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun