Pasca kemenangan Jokowi-Ahok 2012 silam, saya menemui seorang penulis kolom di Jakarta Beat yang menuliskan pendapatnya yang terkesan gundah. Hari ini saya sempat melacak kembali tulisan tersebut untuk memastikan bentuk asli tulisannya. Sayangnya website tersebut sepertinya sudah offline entah sejak kapan, padahal saya kira saya sudah menemukannya dalam pencarian menurut gugel. Setidaknya yang saya ingat dari isi kegundahannya adalah bahwa ...
"Kemenangan Jokowi-Ahok membuat saya gembira. Jokowi-Ahok seperti telah membuat saya berhasil mengalahkan status quo. Saya sudah jenuh dengan status quo yang ada. Pemerintahan yang korup, birokrasi yang lambat dan berbelit, pemimpin yang elitis, dan segala borok pemerintahan yang selama ini seperti tak bisa diharapkan untuk berubah.
Kemenangan Jokowi-Ahok memberikan harapan besar kepada kita semua. Saya sampai ingin ikutan membeli baju kotak-kotak untuk menunjukkan betapa bahagianya saya dengan kemenangan ini. Namun saya segera tersadar, bahwa setelah kemenangan ini, simbol baju kotak-kotak adalah identitas bahwa saya pendukung pemerintah. Saya akan menjadi pendukung status quo yang selanjutnya, sesuatu yang sangat saya benci."
Saya segera mengingat kegundahan penulis itu, pagi tadi sembari menyeruput kopi di teras rumah. Saya segera menyadari bahwa Ahok-Djarot sangatlah berbeda dengan Jokowi-Ahok. Jokowi-Ahok adalah simbol perlawanan terhadap status quo, sedang Ahok-Djarot adalah status quo itu sendiri. Jokowi-Ahok adalah simbol perubahan, sedang Ahok-Djarot adalah simbol melanggengkan kekuasan, jika tidak disebut anti perubahan. Maka pertanyaan selanjutnya untuk kita-kita yang dulu simpati pada Jokowi-Ahok adalah, perlukah kita juga bersimpati pada Ahok-Djarot?
Sampai Oktober 2014, Jokowi masih bisa diasosiakan dengan simbol perubahan dan anti status quo. Selain karena Jokowi bukanlah petahana, tentunya karena partai pengusung Jokowi pun adalah oposisi pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir. Pasca Oktober 2014, semuanya tak lagi sama. Jokowi adalah penguasa Indonesia, begitupun Ahok yang otomatis menjadi Gubernur.
Menjadi simpatisan penguasa sangatlah berbeda dari sekedar menjadi oposan. Seorang oposan (dan simpatisannya) hanya perlu mengkritisi kelemahan, kesalahan, dan kelengahan penguasa. Memberi masukan konstruktif adalah perkara sekunder. Seorang senior pernah berujar, tak perlu gentar disebut hanya bisa mengkritik, karena kritikus juga punya karya, yaitu kritik itu sendiri.
Menjadi simpatisan penguasa bukan hanya perlu memberi kritik, tapi yang paling pusing adalah memberi pembelaan jika penguasa dinilai salah oleh oposannya. Bagian inilah yang membuat akal sehat bisa terjungkil balik, seperti layaknya Fajroel Rahman yang dulunya meminta Sri Mulyani mundur bisa berbalik mendukung kembalinya Sri Mulyani.
Kalau aktifis kawakan saja begitu, bagaimana dengan kita-kita aktifis sosmed kelas coro ini. Konon karena menjadi pendukung ternyata tidak mudah, akan dibuat kerangka keilmuan tentang 'bagaimana menjadi pendukung yang baik', yang akan disebut Followership, komplemen dari Leadership.
Premis utamanya adalah 'power tend to corrupt', bahwa kekuatan punya kecenderungan untuk salah. Maka begitu pula kekuatan yang kini dipegang oleh Jokowi di level Nasional dan Ahok di Jakarta. Kekuatan mereka punya kecenderungan untuk salah. Kecenderungan-kecenderungan itu tampak dalam kebijakan yang menuai kontroversi, khusus untuk ahok dapat disebut soal Reklamasi dan yang lainnya.
Dahulu Jokowi-Ahok bukanlah orang yang berpengalaman memimpin DKI, maka mereka menawarkan masa depan. Kini Ahok-Djarot adalah petahana, status quo. Ahok-Djarot tidak hanya bertanggung jawab akan kelebihan pemerintahan DKI hari ini, tapi juga segala keburukannya. Rasanya kini menjadi tidak perlu untuk mendukung status quo. Barangsiapa yang menginginkan perubahan, maka harus terus mengusahakan perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H