Pendidikan Islam di masyarakat Indonesia telah mengalami penurunan kualitas.Pada beberapa tempat,pendidikan islam bahkan dianggap sebagai tempat cuci otak untuk membentuk generasi yang mudah didoktrin.Beberapa kelompok masyarakat bahkan menganggap bahwa sekolah sekolah berbasis islam dan pesantren sebagai biang kerok terlahirnya radikalisme dan fanatisme agama.Hal tersebut tidak mengherankan mengingat banyak tenaga pendidik berbasis agama,seperti ustadz dan kyai yang mengajar ajaran ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
     Selain itu,stigma dunia kepada dunia Islam yang memburuk akibat serangan 11/9 semakin mempersulit pendidikan Islam di dunia,tidak terkecuali Indonesia,untuk berkembang.Oleh karena itu,pada artikel ini,saya akan memaparkan sedikit informasi mengenai bagaimana perkembangan pendidikan Islam dari masa prakemerdekaan di Indonesia melalui tangan seorang tokoh pahlawan Nasional yang mahsyur,K.H Abdul Wahid Hasyim.
     Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh pahlawan nasional Indonesia yang telah banyak membantu perjuangan kemerdekaan melalui pendekatan religius.Beliau telah dikenal sebagai seorang figur pahlawan yang menjembatani peradaban pesantren dengan peradaban islam modern.Hal tersebut dapat dilihat dari perjuangan perjuangaan yang dilakukannya pada masa prakemerdekaan.Keinginan kuat dari Wahid Hasyim untuk memajukan Pendidikan Islam di Indonesia bermula dari perhatian Pendidikan Islam yang dipandnag sebelah mata baik oleh pemerintahan Hindia Belanda maupun pemerintahan Jepang. (SKIPSI SITI NUR ROHMAH, 2019)
     KH. Abdul Wahid Hasyim lahir di Desa Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada Jumat Legi tanggal 1 Juni 1914 atau bertepatan dengan 15 Rabi'ul Awwal 1333 H.Wahid Hasyim terlahir dari pasangan cendekiawan agama Islam, yaitu KH.Hasyim Asy'ari selaku pendiri Nadhatul Ulama(NU) dan Nyai Nafiqah.Ayahnya, KH Hasyim Asy'ari,adalah salah satu ulama ternama di Indonesia,pendiri pesantren Tebuireng dan juga tokoh pendiri Nadhatul Ulama. Di sisi lain, ibunya adalah putri dari Kyai Ilyas, pengasuh di pesantren Sewulan,Madiun.
     K.H. Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah milik pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dia menghabiskan banyak waktunya untuk belajar secara autodidak. Selama belajar di Pondok Pesantren dan Madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Dia mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hafal diluar kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik.Masa mudanya banyak dihiasi dengan pengembaraan ilmu di pesantren.Seperti banyak tokoh-tokoh besar pada masanya, tujuan dari pengembaraan ilmu tersebut tak lain adalah untuk mencari berkah dari sang guru.Hal tersebut dpat dilihat dari banyaknya catatan dari aktivitas pendidikan KH. Wahid Hasyim sering berpindah tempat.
      Setelah lulus dari Madrasah Tabuireng pada usia 13 tahun,Wahid Hasyim mulai melakukan perjalanannya dalam mencari ilmu. Perjalanannya dimulai dengan menempuh Pendidikan agama di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo,lalu dilanjutkan dengan Pesantren Lirboyo di Kediri.Pada usia remaja, Abdul Wahid Hasyim menjadi santri berkelana kesana kemari untuk mempelajari ilmu agama.Dia pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk mendalami dan memperluas wawasannya mengenai Ilmu Agama dan kondisi social masyarakat.Pada saat menginjak usia 15, bersamaan dengan tahun 1929, dia kembali ke Pesantren Tebuireng. Setelah kembali, Wahid Hasyim muda tidak hanya berfokus mendalami ilmu agama dari kitab-kitab Islam klasik,tetapi  juga mulai belajar bahasa Inggris dan Belanda langsung dari ayahnya.
     Pada usianya yang ke 18,Wahid Hasyim pergi menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama. Sekembalinya dari tanah suci, dia mulai menyebarkan ilmunya di pesantren KH.Hasyim Asy'ari,ayahnya. Atas persetujuan KH Hasyim Asy'ari juga dia mendirikan Madrasah Nizhamiyah (1934),suatu Lembaga Pendidikan yang memfokuskan 70 persen pendidikannya kepada pengetahuan umum.Beberapa sumber menyatakan bahwa Abdul Wahid Hasyim sudah terlibat dalam pergolakan pemikiran dari kelompok kelompok masyarakat dan golongan yang lebih luas pada masa awal kemerdekaan.Hal tersebut dapat dilihat dari jejak bahan bacaan Wahid Hasyim yang ditinggalkannya, salah satunya adalah bahwa beliau berlangganan majalah seperti Penyebar Semangat, Daulat Rakyat, Kullu Syaiin wal Dunya, al-Itsnain, Pandji Pustaka, Ummul Qura, dan berbagai artikel serta majalan lain yang diterbitkan dari Timur Tengah.
     Setelah menjadi pengajar,kiprah Pendidikan Wahid Hasyim makin meluas. Pada 1938, dirinya mulai aktif di organisasi Nadhatul Ulama(NU).Dia merintis perjuangannya di NU mulai posisi bawah sebagai  sekretaris NU ranting Cukir. Selanjutnya, dia dipercaya menjadi ketua NU Cabang Jombang.Dengan menjadi ketua NU, Abdul Wahid Hasyim kini memiliki banyak akses yang bisa dilakukannya tidak hanya untuk memajukan Pendidikan Islam di Nusantara,melainkan juga memperjuangkan kemerdekaan.Dengan dukungan dari berbagai organisasi islam lain seperti Masyumi,Wahid Hasyim menunjukkan kecenderungan dalam bidang politik untuk memperjuangkan agama islam.Bahkan, dia berkomitmen tinggi dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.(Umi Zuhriyah, 2023)
     Sebagai seorang ulama sekaligus politisi,KH.Wahid Hasyim harus menyesuaikan segala Tindakan dan ucapannya berdasarkan ajaran Islam,Al Qur'an dan Al Hadist.Nilai nilai karakter dan akhlak religious milik Wahid Hasyim terlihat pada pidato pembukaan perayaan Maulid Nabi yang diadakan di Istana Negara pada 2 Januari 1950.Menurut Wahid Hasyim,kehadiran agama di tengah tengah manusia adalah untuk kebaikan yang lebih besar karena baginya agama mengajarkan bagaimana manusia saling menolong satu sama lain dan melarang manusia untuk berlaku sombong di hadapan orang miskin karena harta hanyalah titipan dari Tuhan Yang Maha Esa.Selain itu, beliau juga mengajarkan umat islam agar memperkuat rasa persaudaraan satu sama lain,tidak hanya dengan umat Islam,tetapi juga dengan umat lain.Beliau memberi contoh berupa sikap Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang melindungi dan menghargai pemeluk agama dan suku lain melalui piagam Madinah.
     KH. Saifuddin Zuhri35 menuliskan dalam suratnya tertanggal 13 April 1957 tentang karakter dan akhlak KH. Abdul Wahid Hasyim: "...Almarhum (KH. Abdul Wahid Hasyim. Pen) senantiasa mendidik dengan sungguh-sungguh, baik dengan nasehat-nasehat maupun dengan contoh perbuatan. Diberinya kesempatan bagi murid-muridnya untuk menyelesaikan sesuatu, sambil diberinya petunjuk-petunjuk seperlunya, lalu dituntunnya murid yang sedang diasuh itu. Kejadian semacam ini tidak hanya untuk sekali dua, akan tetapi untuk seterusnya, untuk berbilang bulan dan tahun.Dari pernyataan dan kesaksian KH. Syaifuddin Zuhri,jelaslah bahwa sosok KH. Wahid Hasyim merupakan pendidik yang dapat memberikan tauladan yang baik dan memberikan perhatian besar terhadap anak asuh.(Rangga Sa'adillah S. A. P., 2015)
     KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki pemikirannya sendiri dalam metode mengajarnya.Beliau menggabungkan Pendidikan umum yang membahas ilmu duniawi dengan Pendidikan agama sehingga menjadi relevan dengan ajaran Islam dan Al Qur'an.Selain itu,Wahid Hasyim juga menekankan bahwasannya ilmu pengetahuan harus terbebas dari Batasan Batasan keagamaan yang sempit sehingga tidak menyebabkan adanya bentrokan antara Ilmu Agama dengan Ilmu pengetahuan umum.Wahid Hasyim memiliki filosofi pendidikan yang berisis kepercayaan bahwa pendidikan agama menjadi dasar bagi pendidikan umum, namun tidak membatasi seseorang untuk belajar berbagai pengetahuan lain.Selain menyumbangkan pemikiran, Wahid Hasyim juga merealisasikan ide-idenya dalam tindakan nyata, memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.