Mohon tunggu...
SyafiqTaftazani
SyafiqTaftazani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa, UIN Sunan Kalijaga

peminat kajian tafsir, sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Mufassir Sastrawi asal Mesir Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi

3 Juni 2023   07:00 Diperbarui: 3 Juni 2023   07:10 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : suaraaisyiyah.id

Kita tidak dapat memungkiri bahwa Mesir merupakan pusat peradaban dan intelektual muslim di era modern ini. Berbagai tokoh-tokoh keislaman, khususnya dalam bidang tafsir al-Quran, banyak dilahirkan dari negeri ini. Sebut saja dari kalangan tradisionalis (tradisionalism) kita mengenal sayyid qutb (1906-1966) Muhammad al-Ghazali (1917-1996 M) serta Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M). Sementara dari kalangan modernis (modernism), kita mengenal tokoh-tokoh seperi Muhammad Abduh (1849-1905 M) Farag Fauda (1945-1992 M) Amin al khulli (1895-1966 M) dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syati (1913-1998 M)

Nama yang terakhir disebut ini, yakni Aisyah Abdrurahman Bintu Syati merupakan sosok yang paling menarik untuk dibahas, pasalnya -bukan hanya- karena beliau berasal dari kalangan perempuan saja, tetapi itu juga karena beliau juga memiliki pemikiran yang penulis rasa dibuthkan di era modern seperti sekarang ini, yakni pendekatan sastra dalam tafsir al-Quran.

Bernama lengkap Aisyah Abdurrahman Bintu Syati, lahir di Dumyath sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913 M (oleh karenya dipanggil Bintu Syati, yang berarti anak sungai). Bintu Syati merupakan sosok perempuan yang lahir dari keluarga yang taat beragama, dari ayah bernama Abdurrahman yang juga seorang ulama di daerah Dumyath.

 Ia memulai rihlah keilmuannya di sebuah sekolah formal di daerahnya, lalu melanjutkan studi di fakultas sastra universitas fuad I Kairo Mesir dan lulus tahun 1936 M, kemudian ia pun melanjutkan studi magister dan doktoralnya di universitas yang sama di tahun 1941 M dan 1950 M.

Bintu Syathi terkenal sebagai sosok mufassir yang memiliki keunggulan dalam bidang bahasa dan sastra arab. Tak ayal, atas keahliannya tersebut, ia pun diangkat sebagai dosen dan guru besar di berbagai kampus di Mesir maupun di luar Mesir, seperti universitas 'ayn Syams, universitas Durman Sudan dan Universitas Qarawiyyin di Maroko.  Kesibukan lainnya, selain mengajar ia pun sering mengisi stadium generale di hadapan para sarjana di al-Jazair, New Delhi, Baghdad, Yerussalem bahkan sampai Roma di Italia. 

Meskipun demikian, kesibukan beliau yang ada didalam negeri maupun di luar negeri tersebut, tidak meluputkan semangat beliau dalam menulis. Paling tidak, ada sekitar 30-an judul buku/ kitab yang telah diselesaikannya, berbagai tema termuat didalamnya, seperti tafsir, sastra, sejarah, cerita pembebasan wanita, isu-isu mutakhir arab sampai penentangan beliau terhadap kolonialisme Barat dan Zionisme Yahudi di Palestina.  

Diantara sekian banyak karya tulisnya itu, adalah sebuah kitab tafsir bernama tafsr al-Bayn li al-Qurn al-karm yang merupakan karya masterpiece beliau. metode tafsir dalam kitab tafsir ini unik, pasalnya ia mengembangkan metode pembaharuan manahij at-tajdid yang dikembangkan oleh gurunya amin al-khulli. Suatu metode tafsir yang cukup berpengaruh di Mesir pada saat itu.

Dasar dari metode ini adalah mengembalikan posisi al-Quran sebagai kitab sastra arab terbesar/ teragung (al-arabiyyah al-akbar) yang diturunkan di abad ke 7 M, sebagaimana pada era Rasul Saw. Bagi amin al-khulii, sang pencetus metode ini, umat islam dewasa ini kurang merasakan keagungan aspek sastra yang termuat didalam al-Quran.  Bahkan secara tidak langsung, Bintu Syathi juga dalam kitabnya tersebut, yakni tafsir al-Bayan, banyak menyiratkan kritik-kritikan pedas terhadap para sarjana muslim yang ingin menafsirkan al-Quran tapi mengabaikan aspek sastra arab yang termuat didalamnya.

Kajian Tafsir sastra yang kering di era modern Mesir

Abad 19 Masehi atau sekitar tahun 1800-1900 an merupakan suatu abad transisi pengetahuan yang luar biasa dalam Islam. Di abad tersebutlah, umat islam harus menghadapi kemajuan-kemajuan pengetahuan barat yang sangat pesat dari berbagai aspek, terutama dalam hal ini ilmu sains dan teknologi. Tak ayal, umat pun dalam era ini harus dihadapkan pada berbagai diskusi-diskusi panjang mengenai bagaimana hubungan keagamaan dengan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut.

Bintu Syathi pun lahir ditengah-tengah perdiskusian yang cukup sengit tersebut, pemikiran beliau lahir dari beragam diskusi keagamaan yang mempertanyakan bagaimana sesungguhnya hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Mesir pada saat itu. Seperti bagaimana hubungan antara agama dan filsafat, hubungan agama dan sejarah ataupun hubungan agama dan Sains. alhasil, beragam diskusi-diskusi ini, merambat kepada salah satu sutdi keagamaan yang ada disana, khususnya studi tafsir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun