Secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Tidak mengherankan jika para pakar sejak jaman yunani kuno bersibuk diri mengartikan apakah yang dimaksud dengan istilah jiwa itu. Diskusi itu masih berlangsung sampai sekarang dan mungkin tidak akan pernah sampai pada kata akhir ataupun belum mencapai titik ambang batasnya, karena bertambahnya pengetahuan dan perkembangan ilmu dan teknologi itu sendiri, justru makin mempertajam berbagai perbedaan pandangan yang ada. Timbullah pandangan ataupun perbedaan pendapat tentang bagaimana mendefinisikan dan mengartikan jiwa yang sebenarnya. Apakah jiwa itu ?. Bagaimana bentuknya ? Dari mana asalnya ?. Kemana akhirnya ?. Bagaimana cara bekerjanya ?. Samakah ia dengan nyawa ?. Apa hubungannya dengan otak, hati, dan begitupun nafsu ? Dan lain-lainnya. Dari berbagai macam pertanyaan yang bermunculan itulah timbul banyak sekali kata atau istilah yang biasanya diidentikkan orang dengan kata “jiwa” antara laian, psyche, rohani, hati, spiritual, bathin, dan lain-lain. Bahkan untuk menunjukkan adanya hubungan yang erat antara jiwa dan raga. Orang kemudian menghubungkan kata-kata tersebut dengan lawan katanya, sehingga menjadi kata majemuk yang banyak kita kenal, seperti : jiwa-raga, jasmani-rohani, fisik-psichis, lahir-bathin, material-spritual, dst.
Menurut arti katanya (secara etimologis “)Psikologi” berasal dari bahasa Yunani ‘psyche” yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara terminologi psikologi berarti : “ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya”. Namun pengertian antara ilmu jiwa dan psikologi sebenarnya berbeda atau tidak sama (menurut Gerungan) karena :
·Ilmu jiwa adalah : ilmu jiwa secara luas termasuk mengenai khayalan dan spekulasi tentang jiwa.
·Ilmu psikologi adalah : ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah.
vZaman yunani kuno
Pembahasan mengenai jiwa memang sudah ada sejak zaman dahulu kala yaitu tepatnya pada zaman yunani kuno, pembahasan jiwa pada zaman ini banyak mempengaruhi filosof-filosof selanjutnya, termasuk filosof islam. Pada zaman ini belum dikenal psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, tetapi para filsuf yang hidup beberapa ratus tahun sebelum masehi ini sudah mulai memikirkan tentang apakah jiwa itu? Dan para filsuf itu dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah pandangan monoisme, yang masih menganggap jiwa itu diidentikkan dengan badan (Thales, Anaximander, Anaximenes, Hipocrates). Hipocrates (400-375 SM) misalnya, mempunyai teori bahwa karakter manusia dipengaruhi oleh cairan yang dominan dalam tubuh manusia. Begitu juga menurut Pandangan dualisme, yaitu yang membedakan antara badan dan jiwa dimulai oleh Socrates (469-399 SM) ketika melalui teknik wawancara (Socrates menyebutnya teknik meutics), ia menemukan bahwa orang –orang miskin dan gelandanganpun mempunyai banyak pengetahuan dan jawaban terhadap berbagai masalah yang ada di dunia. Ia berkesimpulan bahwa di balik tubuh tentunya ada sesuatu yang bisa menghasilkan pengetahuan dan pemikiran itu yang disebutnya jiwa. Plato (427-347 SM), murid Socrates ini kemudian berteori bahwa jiwa itu adalah ide yang berasal dari dunia ide dan baru menyusup ke dalam tubuh ketika manusia masih berbentuk janin dalam kandungan. Pandangan ini sangat sesuai dengan pandangan islam tentang roh yang telah tersurat dalam al-quran dan al hadist an-nabawiyah. Kemudian teori itu dikembangkan oleh plato dengan memunculkan teori trichotominya, yaitu bahwa jiwa mempunyai 3 fungsi:
1.Berpikir (logisticon)
2.Berkehendak (thumetiicon)
3.Berkeinginan (abdomeen)
Tokoh berikut dari era ini adalah murid plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM).yang menganut paham dualisme, dia berpendapat, jiwa terpisah dari badan. Tetapi berbeda dari plato yang berpaham nativisme (jiwa diperoleh sejak lahir), Aristoteles yang berpaham empirisme ini berpendapat jiwa tidak kekal, karena jiwa dibentuk melalui pengalaman dan jiwa itu (form) akan hilang jika tubuh manusia (matter) sudah mati, karena pada hakikatnya setiap benda terdiri dari matter yang berisi form dan form itu akan hilang bersama hilangnya matter.
Disisi lain, Aristoteles mengemukakan suatu teori yang juga sangat dekat dengan pandangan para filsuf islam berabad-abad kemudian, yaitu bahwa makhluk hidup terbagi dalam tiga jenis yaitu:
1.Anima Vegetativa yang minum-minum dan berkembang biak tetapi tidak berindera (tumbuh-tumbuhan) yang mempunyai kemampuan untuk makan, minum dan berkembang biak.
2.Anima sensitive, makhluk berindera (hewan) Anima ini memiliki kemampuan seperti anima vegetativa juga yaitu kemampuan untuk berpindah tempat, mempunyai nafsu, dapat mengamati, mengingat dan merasakan dan
3.Anima intelektiva, makhluk berpikir dan berkemauan (manusia)
Dalam istilah Ibnu Sina (980-1037) dan Al Gazali (1058-1111):
1.Jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyah).
2.Jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah) dan
3.Jiwa insane (an-nafs al-insaniyah)
Perbedaan antara Jiwa dan Nyawa
·Pengertian jiwa dengan nyawa adalah berbeda. Nyawa adalah daya jasmaniah yang adanya tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah (organic behavior) yiatu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar, misal : insting, refelks, nafsu dan sebagainya.
·Sedang jiwa adalah : daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi hingga manusia. Perbuatan pribadi adalah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah dan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H