Sebentar lagi Jakarta yang dijuluki sebagai ‘Daerah Khusus Ibu Kota’ akan menggelar pemilu ‘Akbar’. Fenomena yang juga populer dengan ‘Pesta Rakyat’ menjadi barometer pemilu kepala daerah (Pilkada) di Indonesia.
Rakyat diajak untuk perpartisipasi menentukan pemimpin terbaiknya. Lewat pemiludihasilkan pemimpin terpilih. Tidak hanya kuantitas yang dimanifestasikan melalui hitungan angka atau presentase hasil, tapi juga disertai dengankualitas terbaik. Kualitas terbaik dari seorang pemimpin berbanding lurus dengan perkembangan dan kemajuan wilayah atau daerah.
Jika pemilu kada dirayakan dalam periode tertentu, sepertisiklus lima tahunan. Tapi berbeda halnya jika para ‘pemilik/presiden/atau pemegang mayoritas saham’ mengingingkan perubahan besar dalam klub bolanya. Kesemuanya itu tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan besar. Jika dalam pemilu atau pilkada terdapat dua kepentingan besar, yaitu; kepentingan partaidan kepentingan bangsa.
Sebagai indikator kepentingan partai terlihat dariupaya partai politik untuk menunjukkan ‘keperkasaannya’ karena menjadi partaipemenang dan pemegang kekuasaan. Sedangkan indikator kepentingan bangsa, yaitu; pengentasan kemiskinan, perbaikan layanan publik, pemerataan kesejahteraan,peningkatan kesehatan dan pendidikan, dan terjaminan kestabilitasan pangan,ekonomi, dan keamanan.
Disinilah, sebenarnya calon pemimpin, atau mereka yangtelah terpilih berada pada posisi yang berbeda. Disisi lain, mereka menjadikomoditas partai politik, disisi lain mereka menjadi komoditas bangsa. Meskipun, John Kennedy dan Soesilo Bambang Yudhoyono pernah berujar, ‘Saatamanah negara diemban, disitulah amanah di partai politik berakhir”.
Begitu juga terjadi pada klub-klub ‘super rakyasa’ yang merajaimasing-masing liga di dunia ini. Mereka juga tidak terlepas darikepentingan-kepentingan. Bak sisi mata uang yang berlainan. Disisi lain, mereka harus meningkatkan prestasi hingga memenangkan setiap laga dan berakhir menangkat ‘tropi’ sebagai targetutama, disisi lain tuntutan dari aspek ekonomi, karena kepentingan investoryang menuntut keuntangan besar.
Sehingga mereka yang terdiri dari para pemaindan jajaran pelatih menjadi komoditas yang menggiurkan bagi ‘perusahaan’ boladi seluruh dunia. Apalagi klub ‘papan atas’. Menjelang akhir musim, atau diawalmusim mereka harus mendapatkan pemain dan utamanya pelatih kepala. Dengan harapan adanya peningkatan prestasi sehingga merajai klasemen. Ribuan hingga miliyaran dolar mereka pertaruhkan hanya untuk mendapatkan pelatih yangdiinginkan.
‘Kontrak’, mereka harus bersedia menandatangai kontrak denganklub sebagai ‘prasasti’ kesepakatan. Begitu juga, pemimpin dibaiat untukberjanji untuk negara. Pada kondisi ini terdapat situasi yang berbeda beda. Adayang habis masa ‘kontrak’, ada pula yang berhenti atau diberhentikan di-‘tengahjalan’.
Jokowi, Risma, dan Ahok merupakan kader bangsa yang diperhitungkan karir kepemimpinannya. Dimulai dari sosok Jokowi yang berhasilmembangun ‘Solo’ menjadi kota yang beradab dan berbudaya, mengantarkan iakembali terpilih menjadi walikota. Belum genap dua tahun diperiode kedua, iaharus ‘ditugaskan’ untuk memimpin Jakarta. Begitu belum genap dua tahun, beliau‘ditugaskan’ untuk memimpin negara. Oleh karenanya, banyak pihak menyebut,‘Jokowi petugas partai’.
Tapi kenyataanya, saat di Solo, ia mampu memberikesejahteraan, jaminan pendidikan dan kesehatan, dan tata kota yang ‘apik’.Begitu juga saat di Jakarta, ia mampu mengeksekusi proyek-proyek besar yang‘semrawut’. Mass Rapid Transit (MRT), banjir kanal barat, nornamilasi sungai,waduk, dan drainase telah tampak ia kerjakan meski hanya dua tahun. Kemampuan inilah yang mengantarkan ia duduk dikursi presiden 2014 hingga 2019, bahkanhingga akhir periode kedua.
Banyak gebrakan dari setiap aspek dilakukannya,meski ada hal tertentu yang mesti diperbaiki. Begitu juga dengan sosok Ahok,yang dikenal ‘bersih’ dan ‘anti korupsi’. Ketokohan beliau dengan gelar ‘Bupatianti-Korupsi 2009’ saat ia menjabat menjadi bupati Belitung Timur, mengantarkania duduk di kursi parlemen hingga ia dipercaya mendampingi Jokowi untuk Pilgub2012 lalu. Kini ia menjadi orang nomor satu di Jakarta, dan akan kembalibertarung pada pilgub mendatang. Kepercayaan diri diperoleh karena elektabilitasnya yang hingga sekarang masih tinggi.