Mohon tunggu...
Musyaffa
Musyaffa Mohon Tunggu... -

The Student Of Magister (S2) Islamic Communication of Broadcasting Islamic State University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mau Dibawa Kemana 'Ahok Gate'?

14 Februari 2017   19:19 Diperbarui: 14 Februari 2017   19:56 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya, tidak sedikit kepala daerah yang kembali diaktifkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri kembali mengaktifkan mereka, usai mereka cuti dari masa kampanye, karena sebagian dari mereka kembali mengikuti kontestasi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017. Kali ini, saya hanya fokus pada mereka yang bertarung pada kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub). 

Berdasarkan pemberitaan di Koran Sindo, Edisi Senin (13/2), setidaknya ada enam provinsi yang menyelenggarakan Pilgub serentak 2017. Baik Calon Gubernur (Cagub) maupun Calon Wakil Gubernur (Cawagub) pada masing-masing provinsi diikuti oleh pasangan petahana (incumbent). Berdasarkan data yang ada, keenam provinsi tersebut antara lain; Aceh, Banten, DKI Jakarta, Papua Barat, Gorontalo, dan Bangka Belitung. Di Aceh pasangan petahana yang kembali ikut kontestasi Pilgub adalah Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Zaini Abdullah sebelumnya sebagai Gubernur dan kini kembali menjadi Calon Gubernur, Sedangkan Muzakir Manaf sebelumnya menjabat sebagai Wakil Gubernur (Wagub), kini menjadi Cagub. 

Artinya, tadinya mereka berpasangan, tetapi kini mereka saling berebut kursi Aceh-1. Adapun di Banten, Rano Karno yang sebelumnya menjadi Gubernur saat ini berstatus juga sebagai Cagub petahana. Bentuk pertarungan lain juga diperlihatkan di Papua Barat, Irene Manibuy yang sebelumnya menjadi Wagub, kini kembali mencalonkan dirinya menjadi Cagub, naik satu tingkat dibanding status sebelumnya. Namun, ada pasangan yang konsisten pula dengan posisi jabatan sebelumnya, seperti ditunjukkan di Gorontalo. 

Rusli Habibie dan Idris Rahim sebelumnya adalah pasangan Gubernur dan Wagub, kini kembali menjadi pasangan Cagub dan Cawagub. Berbeda halnya dengan di Provinsi Bangka Belitung, Rustam Efendy dan Hidayat Arsani sebelumnya merupakan pasangan Gubernur dan Wagub, tetapi pada kontestasi kali ini, mereka justru bersaing merebutkan kursi Bangka Belitung-1, Rustam Effendy kembali menyalonkan diri menjadi Gubernur, dan Hidayat Arsani ingin meningkatkan peranan statusnya pula menjadi Cagub, padahal sebelumnya berposisi sebagai Wagub. Terakhir adalah DKI Jakarta dengan Basuki dan Djarot yang dikenal sebagai pasangan petahana dan kembali mencalonkan diri sebagai pasangan Cagub dan Cawagub.

Dari deretan calon petahana yang kembali 'menaruhkan' diri di kontestasi ini, terdapat satu pasangan yang hingga sekarang menyita banyak energi di tanah air. Bahkan, dampaknya menular hingga ke penjuru tanah air. Tentu, hal ini bukan tanpa bukti, di media sosial banyak pihak-pihak dari daerah-daerah  justru turut serta membahas fenomena politik di Ibukota. Pasangan Basuki-Djarot sejak dari awal telah memberi gambaran bahwa pilgub kali ini lebih hangat dari sebelumnya. Banyak faktor sebenarnya, utamanya adalah 'Gonjang-Ganjing' kasus Penistaan Agama. Namun, hal yang menjadi perhatian bersama adalah pengangkatan kembali status jabatan Basuki (Ahok) yang sebelumnya non-aktif dari kursi gubernur, terhitung sejak Sabtu (11/2) kembali mendapatkan SK pengangkatan sebagai Gubernur Aktif. 

Padahal ada kasus besar yang menjerat Ahok dengan status terdakwa 'Penistaan Agama'. Inilah kemudian, yang menjadikan sorotan tajam terhadap kebijakan kemendagri yang menimbulkan desas-desus ditengah masyarakat. Sehingga menimbulkan pertanyaan utama; pertama, Bagaimana peristiwa pengangkatan Ahok kembali menjadi Gubernur? dengan petanyaan turunan sebagai berikut; 1) Bagaimana perspektif konstitusi pada peristiwa pengangkatan Ahok kembali menjadi gubernur? 2) Apa alasan Kemendagri mengangkat kembali Ahok? 3) Apa yang akan terjadi pasca pengangkatan Ahok? 4) Apa yang dikhawatirkan atas pengangkatan Ahok kembali dengan status gubernur petahana, jika dikaitkan dengan Pilgub serentak 2017?

Perspektif konstitusi atau hukum (Undang-Undang) telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kepala daerah sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2004) tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Jika dikaitkan dengan kasus hukum Ahok, jelas bahwa Ahok berstatus tersangka bahkan saat ini menjadi terdakwa kasus Penistaan Agama. Terdapat klausul yang tertuang dalam pasal 83 ayat 1 UU NO. 23/2004 tentang Pemda, menyatakan bahwa Kepala Daerah dan/ atau wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena didakwa melakukan konfirmasi tindakan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun. 

Jika merujuk pada bunyi klausul undang-undang tersebut, maka jelas bahwa Kemendagri mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan kebijakan berupa pemberhentian terhadap pejabat, terlebih pada jabatan Gubernur. Sementara, kembalinya Ahok menjabat gubernur hanya merujuk pada alasan bahwa masa bakti jabatan tersebut berakhir pada Oktober 2017. Penonaktifan gubernur Ahok, pada tiga hingga empat bulan yang lalu adalah bagian dari cuti kampanye, sebagai bagian yang harus diambil oleh mereka yang ikut dalam kontestasi Pilgub 2017, itu berarti bahwa telah menegaskan penonaktifan bukan karena Ahok berstatus sebagai tersangka. 

Dari peristiwa pengangkatan hingga saat ini telah menjadi diskursus kritis dan polemik di media, dan saat ini menjadi sebuah realitas di masyarakat. Bahkan, tidak hanya menjadi diskursus oleh media dan masyarakat, tetapi sudah menjadi 'Senjata' di lingkungan Parlemen. 'Tak Tangguh-tanggung' beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersemangat membawa polemik ini sebagai alat utama dalam mengusung 'hak angket'. Partai Oposisi pemerintahan, seperti : Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) paling gencar menyuarakan hak angket, sementara Partai Demokrat sebagai partai penyeimbang di parlemen dipastikan ikut serta dalam menggalang suara dalam perkara ini. Sepertinya, hak angket tidak hanya digalang dan disemarakkan oleh partai Oposisi dan parta Penyeimbang, tetapi salah satu partai Koalisinpemerintahan juga turut tergabung dalam panitia hak angket. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai Koalisi juga tidak tanggung-tanggung. 

PKB justru mengusung paket hak angket yang terdiri dari tiga kasus yang mesti diinvestigasi. Dalam perencanaan tersebut, beberapa fraksi yang menyuarakan hak angket menginginkan penjelasan Menteri Dalam Negeri dan bahkan hingga Presiden dalam kasus pengangkatan Ahok menjadi gubernur lagi. Kita tidak tau sampai sejauh mana kasus ini akan terus bergulir, kasus yang dibalut dengan nama 'Ahok Gate'. Akankah bernasib sama seperti Gus Dur yang tersandung dalam kasus Buloggate? Meskipun demikian, Presiden Jokowi fokus terhadap permasalahan ini. Dalam pertemuannya dengan pimpinan pusat Muhammadiyah pada Senin (13/3) di Istana Negara, Presiden berujar bahwa akan meminta Kemendagri untuk meminta kebijakan resmi dari Mahkamah Agung (MA).

Seperti diketahui, Mendagri berdalih bahwa keputusan penonaktifan Ahok sebagai gubernur menunggu putusan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebenarnya, Kemendagri tidak perlu lagi menunggu keputusan JPU. Sebagaimana diketahui pula, bahwa Ahok dinyatakan terdakwa Penistaan Agama berdasarkan keputusan pengadilan, dengan nomor register perkara IDM. 147/JKT.UT/12/2016. Dengan status tersangka apalagi terdakwa sudah cukup menguatkan kemendagri guna penonaktifan Ahok. Hal tersebut sebenarnya memiliki argumen yang kuat, karena didasarkan pada klausul pada Pasal 83 ayat (2) UU No. 32/2004 tentang Pemda, bahwa pejabat atau kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, saat ia berstatus sebagai terdakwa. 

Adapun kekhawatiran akan menjabatnya lagi para  petahana beberapa hari menjelang pemilihan menimbulkan potensi kecurangan, antara lain; 1. Politisasi birokrasi dengan menggerakkan aparat birokrasi untuk pencoblosan pasangan tertentu. 2, Politisasi penyelenggaraan pemilu untuk berpihak pada pasangan tertentu, 3. Melakukan serangan fajar dengan menyebar money politics.

Apapun peluang negatif yang dimunculkan, Kemendagri mesti mampu memberikan argumentasi yang relevan, mampu menjelaskan kepada panitia hak Angket di Parlemen, dan mampu menjelaskan dengan detail kepada masyarakat luas. Ada baiknya, sebelum Kemendagri memutuskan, penting untuk kembali meninjau ulang kebijakan tersebut dengan memperhatikan aspek yuridis dan etis. Semestinya pula, saudara Ahok dengan besar hati, bersedia untuk tidak menerima posisi jabatan itu bahkan sejak ia dinyatakan tersangka, terlepas dari 'benar' dan 'tidak'nya, 'terbukti' dan 'tidak terbukti'-nya kasus yang menimpanya di pengadilan sebagai hasil dari proses hukum.

Kepada masyarakat, mari kita lihat fenomena ini dari berbagai perspektif yang lebih proporsional. Kita ingin, Pemilu Kepala Daerah berjalan kondusif. Semua pihak harus sadar, bahwa kepentingan rakyat dan kepentingan bangsa diatas segalanya. 




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun