Terungkapnya Fuad Amin (KH. Fuad Amin Imron) Ketua DPRD Bangkalan yang juga mantan Bupati Bangkalan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga tersangkut dan tersangka kasus korupsi merupakan pukulan berat bagi masayarakat Madura, meskipun kasus yang sama pernah terjadi pada mantan bupati di Madura yang lain, seperti Noer Tjahja, mantan Bupati Sampang.
Keterlibatan sejumlah pejabat penting dari Pula Madura tersandung kasus yang sama, jauh sebelumnya memang kerap terjadi, meski tidak sedahsyat dibanding kasus Fuad, lantaran peristiwa ini langsung ditangani KPK, sementara yang lain melalui tatahapan peradilan, ada yang dijebloskan masuk bui, dan ada pula kasusnya berjalan ditempat, bahkan ada yang tidak jelas proses peradilannya dan tentu masih “gentayangan”.
Sejumlah kasus yang melibatkan orang-orang penting Madura, merupakan sinyal bahwa kearifal lokal yang menjadi ajaran orang Madura, tidak lagi memberi nilai terhadap fonemonabudaya orang Madura. Karakteristik yang dilukiskan orang-orang Madura sebagai etnis para pekerja ulet, setia dan taat pada syariat agama, ternyata tak lebih dari slogan politis yang dengan terang-terangan menentang kearifan lokal Madura dan ajaran agama yang ditaati, dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Madura.
Keuletan orang Madura memang tidak disangkal, tapi mengandalkan keulatan saja tidak cukup, namun butuh kekuatan lain yaitu berani bersaing sebagaimana ditunjukkan para pembisnis orang Madura disejumlah kota, baik dari kelas kaki lima sampai pemodal besar.
Maka tak heran para pembisnis itu cenderung lebih sukses, meski kadang keputusan berspekulasi untung atau rugi bukan sebagai ukuran. Pola orang Madura dalam mencari nafkah tidak semata-semata nyare pesse (mencari uang), tapi disepakati sebagai bentuknyare lalakon atau nyare lako (mencari pekerjaan). Inilah yang menjadi modal utama dalam bersikap dalam pemebuhan kebutuhan ekonomi.
Namun sebagai pendorong agar usahanya sukses dan berkah, pertimbangan utama dalam menentukan hasil yaitu pada kualitas (sebut: halal) daripada kuantitas yang mengabaikan semangat itu. Realitas sosial-budaya ini tidak selayaknya disikapi dalam bentuk kecemburuan sosial. Bahkan sebaliknya keberhasilan tersebut dapat dijadikan faktor pemicu bagi orang-orang dari kebudayaan lain untuk bersaing secara terbuka dan jujur.
Namun terakhir, karena makin kuatnya persaingan diluar serta kebutuhan prestise kekuasaan juga makin menguat, prospek dalam usaha kerap dilakukan dengan cara mudah. Tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu dibalik dengan mengembangkan cara kerja untuk nyare pesse atau mencari uang. Ketika pikiran mencari uang dimunculkan dalam benak, otomatis perbuatan dengan menghalal segara cara menjadi pembenaran, dan akhirnya dikaburkan makna mencari uang dengan mencari pekerjanan.
Dalam sisi yang lain, dalam falsafah orang Madura, sikap penghormatan yang paling tinggi, yaitu perhormatan pada orang yang dituakan, disepuhkan dan yang di”sembah”. Penghormatan itu diimplentasikan terhadap ulama (kiai) yang tersirat dalam ungkapan,buppa’-bhabhu, ghuru, rato, yaitu menggambarkan hirarki penghormatan dikalangan masyarakat Madura.
Bagi masyarakat Madura ungkapan tersebut bermakna bahwa penghormatan yang pertama dan utama harus diberikan kepada kedua orang tua, sekalipun dalam kenyataannya banyak anak Madura yang lebih hormat pada Kiai ketimbang kedua orang tuanya, meskipun sebagai orang yang melahirkan dan mendidik dan mengasuh hingga dewasa.
Penghormatan kedua pada guru yang dalam hal ini terfokus pada Kiai. Karena kiailah yang mengajarkan ia tahu tentang ilmu agama dan ilmu tatakrama, disamping itu kiai dianggap orang yang paling faham dan dekat dengan agama, sehingga ia pantas untuk dihormati dan diteladani. Baru penghormatan berikutnya kepada rato (pemerintah), bahwa fungsi pemerintah sebagai regulator pembangunan kurang diberi kehormatan oleh nilai-nilai tradisiMadura.
Hubungan antara kiai dengan ummatnya di Madura, sangat dekat. Kiai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Patronase orang Madura kepada Kiai sangat tinggi. Petuah Kyia bagi masyarakat Madura tempo dulu, tetap menjadi hukum tak tertulis yang harus dilaksanakan dan ditaati. Bahkan kesetiaan masyarakat pada kiai melebihi kesetiaan pada yang lain termasuk pada kedua orang tuanya, sekalipun pada tataran tertentu fatwa kiai tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Karena kuatnya kepercayaan masyarakat Madura kepada kiai hingga ada semacam perumpamaan dalam bentuk pengandaian “seandainya kiai itu bisa menjadi Nabi pasti orang Madura mempercayainya, bahkan jika ada orang lain menyanggahnya maka ia akan menjadi sasaran kemarahannya“
Tapi mengapa paradigma tersebut berbalik demikian drastis. Konon, dari jargon-jargon orang Madura, paradigma buppa’-bhabhu, ghuru, rato memang sengaja “dihancurkan” karena dianggap pengebirian. Mau tak mau orang Madura harus taat dan tunduk pada terminologibuppa’-bhabhu, ghuru, ratoterkesan “dipaksakan”. Hal ini mulai dirasakan saat perubahan era keterbukaan masa reformasi. Tanpa mengesampingkan pemahaman kebenaran kiai berpolitik karena dinilai, tidak ada salahnya seorang kiai berpolitik. Alasannya, pada zaman perjuangan dulu sejumlah kiai juga terjun di dunia politik dan tetap bisa mempertahankan moralnyabukan karena tujuan materi.
Apalacur, ketika krans demokrasi terbuka lebar-lebar banyak tokoh dan kiai di Madura mulai menjebol ranah politik. Tidak sedikit legenda gedung DPRD dikuasai oleh kalangan kiai, dan dipastikan para penguasa pemerintahan daerahpun di Madura mempunyai latar belakang kiai. Akhirnya, pada saat bersamaan indentitas “kiai” yang politisi itu mulai terjebak pada kepentingan-kepentingan diluar ke”kiai”annya. Kiai politik yang seharusnya ikut bertanggung terhadap moralitas masyarakat melalui media politik, tampaknya mulai tergerus dan masyarakat menjadi sulit membedakan, maka kiai yang dita’dimi dan mana kiai yang memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
Dilema itu terus berlangsung, dan terakhir nampak di permukaan ternyata status “Kiai”ketika masuk dunia kepentingan (politik) tidak punya jaminan untuk berpihak membangun moral masyarakat sebagaimana dicontohkan oleh perlakuan Fuad Amin Imron tersebut.
Meski telah menjadi kesepakatan, bahwa para kiai yang terjun dalam politik kekuasaan, tidak lagi “diakui” sebagaimana kiai yang menggelorakan semangat syiar Islamdi dunia pesatren. Masyarakat Madura tanpa berucap dengan kata, kiai yang memilih jalur dalam dunia politik kekuasaan tidak lagi dianggap sebagai kiai dalam arti sebenarnya, namun masyarakat tetap mengapresiasi dengan harapan perjuangan tokoh ini dapat dan mampu mengedepankan moral dan kepentingan rakyat.
Sebagai catatan, kiai lahir dari lingkungan kiai. Dan ketika sejumlah kasus terkuak dan melibatkan indentitas kiai secara otomatis masyarakat megeneralisasi bahwa apa yang dilakukan seseorang “kiai” dalam tataran kepemerintahan, akan menjustifikasi ketidak percayaan masyarakat terhadap ketokohan kiai.
Nah, dari persepsi tersebut, sejak awal banyak kalangan menghendaki agar kiai kembali ke “habitatnya”, mensuplay ilmu-ilmu agama, pemberi nasihat, pencetus fatwa, dan mengayomi serta memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas. Namun demikian gerakan kiai berpolitik tetap saja berlanjut, sebab tidak satu aturanpun menghalangi kiai berpolitik, kiai dibenarkan menduduki jajaban tertinggi di pemerintahan, atau memperjuangkan hak-hak rakyat selama tidak bertujuan untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk korupsi.
Selamat Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H