Mohon tunggu...
Syaf Anton Wr
Syaf Anton Wr Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat Kecil

Sekedar sapa untuk pembaca Kunjungi: www.lontarmadura.com www.rumahliterasisumenep.org www.maduraaktual.blogspot.com www.liliksoebari.blogspot.com www.babadmaduraline.blogspot.com www.lontarmadura.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lengkaplah Penderitaan Rakyat

13 Desember 2014   23:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sejumlah wilayah di Indonesia berbulan-bulan dihadapkan kemarau berkepanjangan, yang berakibat terjadinya kekeringan di mana-mana.  Tanah, sawah, tegalan dan ladang-ladang yang seharusnya menjadi penyambung hidup namun tidak banyak diharapkan. Rakyat tidak tahu apa yang harus dimakan, rakyat tidak tahu apa yang harus diminum. Setiap hari bangsa ini menyaksikan melalui kenyataan disekitarnya, melalui berita media,  betapa sengsaranya kehidupan mereka, betapa nistanya harapan mereka.

Sebuah harapan. Harapan ternyata bukan sebuah jawaban. Harapan menjadi siksaan. BBM naik, seluruh harga kebutuhan hidup ikut naik, mulai dari harga lombok sampai barang-barang di etalase ikut naik. Tidak hanya itu, uang saku anak sekolah juga  naik karena harga kue ditempat biasa  berjajan juga naik. Biaya hidup anak kuliah juga naik, bayar kost dan kebutuhan lainnya semua naik. Sedang penghasilan tidak pernah naik.

Bagi orang tua barangkali otaknya jadi panas,  mereka harus cari akal baru untuk memenuhi kebutuhan sang anak.  Entah dengan cara apa dapat digerakkan. Apakah menggunakan  akal bulus seperti untuk sekedar tambah fulus seperti koruptor, tidak semudah yang mereka bayangkan. Tak semudah bapak-bapak penguasa yang demikian mudah menggunakan hak kebijakan.

Rakyat kecil, yang kemudian dipolitisir menjadi wong cilik, benar-benar dicilikkan, dikerdilkan. Istilah wong cilik kadung digunakan untuk menggambarkan kelas sosial atau dengan kata lain "rakyat jelata" sebagaimana dipahami dalam masyarakat feodal. Dan sebaliknya para  priyati, kalangan atas, penguasa yang selanjutnya disebut-sebut  kelas atas,  kelas elit, kelas sosialita. Kelas elit awalnya dimuarakan pada kalangan aristokrat atau bangsawan, namun kemudian berkembangan  pada kalangan borjuis, kalangan yang mempunyai status sosial tinggi, orang kaya, pimpinan birokrasi dan lainnya.

Mulailah penderitaan rakyat

Tidak cukup disitu, belum lagi menikmati sejuknya air hujan dan hasil penen yang diharapkan, sebagian rakyat justru dihantam petaka alam, banjir desejumlah wilayah yang berakibat makin buruknya tata kehidupan mereka. Mereka sibuk membersihkan rumah-rumah yang tergenang air dan lumpur, daripada menyusun rencana mendapatkan rezeki tambah. Ditempat yang beda, penggusuran dan pembokaran rumah dimana-mana. Mereka dipersalahkan lantaran bertempat tinggal bukan miliknya. Mereka blingsatan harus berteduh dimana, mereka hidup tanpa arah.

Tidak cukup itu. Musim hujan yang seharusnya menjadi berkah, justru disejumlah wilayah dihadang tanah longsor, gempa bumi, tanah harapan sawah dan ladang, justru menjadi kolam. Menurut kabar berita, di beberapa tempat terjadi tanah longsor, dan bahkan ada puluhan warga tertimbun lonsor dan mungkin ratusan lainnya masih tertimbun tanah. Belum terhitung harda benda.

Hidup atau mati, mati atau hidup, itulah wirid mereka.  Dan pada saat bersamaan, laut tampaknya tidak bersahabat dengan nelayan. Ombak besar, mengharamkan nelayan turun untuk meraih nasib ditengah laut, lantaran ikan-ikan yang  siap dan rela ditangkap untuk kebutuhan manusia, akhirnya bersembunyi dibawah ombak laut. Nelayanpun istirahat untuk menyambung hidup. Menunggu saat, menahan lapar.

Tidak cukup disitu. Mungkin, akibat kesengraan itu, akibat kenistaan itu, perampok, maling dan perbuatan krimininal lainnya makin membabi buta. Sasaran mereka bukan lagi kaum berduit, tapi siapa saja yang menyebut dirinya manusia. Ya, manusia yang disebut-sebut sebagai mahluk sosial itu dan selalu berinteraksi dengan sesamanya, kini tak lagi dapat dipertanggung jawabkan, karena manusia tidak dapat lagi mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari individualitasnya, karena hampir saja kehilangan jati dirinya.

Inilah penderitaan rakyat

Ditempat lain, kaum borjuis yang berbangga dalam kemewahan, entah dari korupsi maupun dari usaha  sendiri, mulai enggan melongok kebawah, mulai risih menunduk dan memperhatikan nafas yang terengah karena terinjak oleh sepetu mengkilatnya. Mereka menyalahkan, mengapa berada dibawah, mengapa mereka tidak berusaha, mengapa mereka miskin.

Sementara kartu sakti yang digelontorkan Presiden RI, sebagai pengganti dicabutnya subsidi BBM, antara lain  dilempar Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan kini mulai jadi rebutan bagi siapa saja, siapa cepat dia dapat, begitu kira-kira untuk mendapat KPS. Karena banyak dikeluhkan  kaum papa, kaum miskin, kaum melarat, rakyat jelata tidak seutuhnya mendapat bagian jatah, bahkan kaum cukup ekonomipun ikut latah didalamnya.

Lalu apa yang mereka rasakan, bagi mereka tidak cukup slogan, tidak cukup mengharap kedepan lebih baik. Karena masa depan kaum melarat tidak akan bergoyah, lantaran yang mereka pikirkan, yang mereka harapkan hanya hari ini. Hari ini makan apa, hari ini minum apa, hari ini dari mana untuk bayar biaya sekolah anak. Hari ini, hari ini dan hari ini mereka mencoba untuk bertahan dari kereasingan, dari kenistaan, dari sesuatu yang tidak bisa diharapkan.

Demontrasi dimana-dimana, tuntutan rakyat diwakili para mahasiswa dan aktiifis sosial, tidak akan mengubah jumlah kemiskinan. Tidak akan mengubah kata penguasa, karena upacan penguasa  adalah adalah titah. Tidak akan mengubah sebuah harapan. Karena rakyat terlanjur miskin, terlanjur mengikuti perkembangan berita kebutuhan sehari-hari makin naik dan menari-nari riang dipikiran mereka. Tidak ada lagi harapan, karena harapan tidak lagi mimilik kaum papa, karena semua sudah terlanjur menjadi nyata. Dan

Lengkaplah penderitaan rakyat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun