Mohon tunggu...
Syafa Alia
Syafa Alia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah

Just as the Milky Way shines upon the darkest roads

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum dan Masyarakat

11 Desember 2022   23:01 Diperbarui: 11 Desember 2022   23:03 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semakin berkembangnya masyarakat, teknologi, serta informasi pada zaman sekarang, menyebabkan masyarakat berpikir ulang mengenai hukum. Hal ini dimulai dengan memutuskan citranya terhadap interaksi antar sektor hukum dengan masyarakat, di mana hukum tersebut diterapkan. Akan tetapi, kesadaran masyarakat terhadap hukum masih menjadi faktor dari efektivitas hukum yang disandingkan pada suatu negara. Saat kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas hukum bisa diukur, maka kita wajib mengetahui pula sejauh mana hukum ditaati atau tidak oleh masyarakat. Apabila suatu hukum sudah ditaati oleh sebagian besar masyarakat, maka bisa dikatakan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Akan tetapi, sebenarnya ditaati atau tidaknya suatu hukum tergantung dalam kepentingan masing-masing orang.

Efektivitas hukum berkaitan langsung dengan keberadaan sistem hukum. Sistem hukum terdiri dari tiga unsur, yaitu:

  • Struktur hukum, terdiri dari aparat penegak hukum yang terkait dengan perlindungan serta pengelolaan cagar budaya
  • Substansi hukum, terkait dengan peraturan perundang-undangan yang terkait oleh perlindungan dan pengelolaan cagar budaya
  • Budaya hukum masyarakat, yang mengarah terhadap kesadaran hukum masyarakat. Bisa dilihat pada perilaku masyarakat sehari-hari dalam menaati Undang-Undang yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subjek hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Mengenai syarat suatu hukum dapat dinilai efektif dalam masyarakat, menurut Clerence J. Dias (1975) dalam Marcus Priyo Guntarto, yaitu:

  • Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap
  • Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan yang bersangkutan
  • Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum dicapai dengan bantuan aparat administrasi yang menyadari melibatkan dirinya ke dalam usaha mobilisasi yang demikian, serta para masyarakat yang terlibat dan merasa harus berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum
  • Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan dimasukkan oleh setiap masyarakat, namun harus cukup efektif menyelesaikan sengketa
  • Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa aturan dan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif

Hukum memiliki keterkaitan dengan suatu pendekatan, salah satunya pendekatan sosiologis. Adapun contoh pendekatan sosiologis dalam hukum ekonomi syariah, yaitu dalam hal pemanfaatan harta di kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan harta dalam aktivitas konsumsi ekonomi konvensional merupakan sebuah kebebasan untuk mencapai kepuasan (utility), sedangkan dalam ekonomi syariah, kegiatan belanja untuk keperluan yang sifatnya konsumtif ini diatur oleh syariat, maka ada yang dibolehkan syariat serta ada pula belanja yang diharamkan oleh syariat. Dalam ekonomi syariah, kebutuhan ditentukan dari konsep mashlahah (kepentingan) yang bertujuan untuk mencapai falah (kejayaan di dunia dan di akhirat), sedangkan dalam ekonomi konvensional, kepuasan (utility) diperuntukkan untuk dunia saja.

Hukum dengan keadilan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Akan tetapi, dalam kenyataan sulit untuk menegakkan keadilan, karena praktik untuk memperoleh hukum yang adil tersebut tak ayal melalui prosedur-prosedur yang bisa dibilang tidak adil. Jika dilihat dari sistem serta kondisi penegakan hukum yang penuh dengan problematika, sehingga pentingnya persatuan kekuatan hukum progresif untuk melawan kekuatan status quo hukum yang telah sekian lama diterapkan pada sistem hukum di Negara Republik Indonesia. Adapun progressive law ialah aturan yang mengatur hubungan antar masyarakat, serta dibuat oleh seseorang maupun kelompok (lembaga) yang memiliki wewenang membuat hukum dengan landasan kehendak untuk terus maju dan berkembang ke arah yang lebih baik.

Progressive law mempunyai tujuan, yaitu agar kembali pada pemikiran hukum falsafah dasarnya, yakni hukum untuk masyarakat. Manusia berperan penting sebagai penentu dan titik orientasi dari keberadaan hukum, sehingga hukum tidak boleh lepas dari kepentingan pengabdian dalam menyejahterakan masyarakat. Kepentingan rakyat, baik kesejahteraan serta kebahagiaannya menjadi titik orientasi serta tujuan akhir dari penerapan hukum.

Dalam penerapannya, hukum bersifat mengontrol perilaku masyarakat, sesuai dengan ruang lingkupnya. Hal ini dapat disebut sebagai hukum dan kontrol sosial (law and social control). Law and social control merupakan aspek yuridis normatif dalam kehidupan sosial pada suatu masyarakat, atau dapat disebut juga sebagai pemberi definisi atas perilaku yang menyimpang serta akibatnya, seperti larangan, perintah, pemidanaan, dan sebagainya. Contoh hukum sebagai kontrol sosial, misalnya aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan sarana dalam melindungi warga dari perbuatan yang mengakibatkan terjadinya penderitaan terhadap pihak lain.

Mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, menurut pandangan socio-legal studies (studi sosio-legal), yang mana sebagai istilah generik untuk pendekatan perspektif sosial terhadap hukum melihat gejala sosial yang terletak dalam ruang sosial, dan tidak bisa lepas dari konteks sosial. Hukum tidak dapat terpisah dari elemen sosial dan tidak mungkin bekerja dengan mengandalkan kemampuannya sendiri, sekalipun hukum dilengkapi dengan perangkat asas, norma dan institusi. Perkembangan teori socio-legal studies yang dilakukan oleh pakar hukum teoritis bertujuan agar mempertanyakan sekaligus memperbaiki pemikiran hukum, lantas yang dilakukan pakar hukum praktis bertujuan untuk menghadirkan kegunaan serta fungsi hukum dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan perancangan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum.

Pada suatu keadaan timbulnya suatu ketentuan atau suatu aturan hukum yang lebih dari satu dalam kehidupan sosial ini, dinamakan legal pluralism. Legal pluralism atau pluralisme hukum didefinisikan sebagai keberagaman hukum atau adanya keberadaan mekanisme hukum yang berbeda dalam suatu tatanan masyarakat. Legal pluralism dapat dipahami sebagai interelasi, interaksi, saling mempengaruhi, serta saling adopsi antara berbagai sistem hukum negara, adat, agama, ataupun kebiasaan-kebiasaan lain yang dianggap sebagai hukum.

Konsep dari legal pluralism menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara hukum tersendiri yang dirasa sesuai dengan keadilan atau kebutuhan mereka dalam interaksi sosialnya. Pada abad ke-20, keberagaman yang ada tersebut ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini muncul terutama saat banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan, lalu meninggalkan sistem hukum Eropa atau hukum yang berasal dari penjajah di negara-negara tersebut. Perkembangan konsep legal pluralism ini menunjukkan adanya saling ketergantungan atau saling pengaruh (interdependensi) antar berbagai sistem hukum yang ada. Negara Indonesia saat ini menganut politik hukum yang plural. Keberagaman masyarakat di tiap-tiap wilayah mencerminkan pluralitas Indonesia. Kondisi tersebut telah menempatkan Pancasila sebagai entitas dan identitas bangsa, pada posisi yang sentral terhadap pembangunan hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun