Tak ada duanya dalam kisah sejarah pemuda sehebat Ismail, putera pasangan Hajar dan Ibrahim. Keteguhan iman membuatnya berani berkata,” Ayah lakukanlah, niscaya engkau akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar”. Ayah mana yang tak bersedih harus mengorbankan darah dagingnya sendiri. Tapi keimanan pada Tuhan membuat keluarga Ibrahim siap melaksanakan perintah gaib itu. Namun atas kuasa Tuhan pengorbanan dengan darah Ismail itu batal, karena segera digantikan seekor binatang ternak.
Penghargaan atas kemantapan iman keluarga Ibrahim-Hajar dan Ismail, ritual ibadah korban terus dijalankan hingga saat ini. Korban sembelihan binatang ternak dagingnya ditebarkan kepada fakir-miskin. Namun bukan daging atau darahnya yang sampai pada Tuhan, tetapi ketundukan mengendalikan nafsu dirinya (ketakwaannya). Berkorban merupakan simbol kepatuhan individu pada Tuhannya, sekaligus simbol solidaritas sosial.
Korban merupakan ibadah yang menghancurkan mental kepemilikan yang semu. Rasa memiliki atas harta benda, jabatan, pangkat, bahkan diri sendiri.Karena hakikat kepemilikan sejati adalah milik sang pencipta. Penyembelihan binatang hakikatnya menyembelih hawa nafsu binatang dalam diri.
Sebagai bangsa yang mayoritas muslim sejatinya layak mengaca diri pada jejak jiwa pemuda sejati, Ismail.
***
Hampir satu abad lalu, pada akhir tahun 1917, sesudah lustrum perkumpulan mahasiswa Indologi di Leiden, beberapa orang wakil Indische Vereeniging, Chung Hwa Tsung Hui dan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang akan menjadi pejabat di Hindia Belanda, mereka membentuk suatu federasi yang bernama Indonesisch Verbond. Sebagai pengurusnya disetujui tiga orang, Suwardi Suryaningrat, dr.Yap Hong Tjoen dan Mr.Jonkman.
Orang bumipoetra Hindia Belanda, orang peranakan Tionghoa dan orang Belanda yang kelak akan bekerja di Hindia, diduga baik, apabila mereka selagi belajar bersama-sama membicarakan berbagai masalah yang akan mereka hadapi nanti, apabila mereka sudah menunaikan tugasnya. Majalah Hindia Poetra menjadi majalah Indonesisch Verbond.
Dalam lingkungan Indische Vereeniging hiduplah berangsur-angsur keyakinan bahwa kemajuan Tanah Air hanya dapat dicapai dengan “perjuangan atas kekuatan dan kemampuan sendiri”. Terlebih dulu Tanah Air yang bakal merdeka dari penjajahan itu hendaklah mempunyai nama sendiri. Hindia tidak dapat dipakai sebagai namanya, sebab jajahan Inggeris sudah memakai nama “India”.
Tanah Air yang akan merdeka itu, harus mempunyai nama yang tidak menimbulkan keraguan. Pada tahun 1850 sudah ada seorang ahli etnologi Inggeris, J.R.Logan yang mempergunakan nama Indonesia itu sebagai pengertian ilmu bumi bagi sekumpulan pulau yang Hindia Belanda terletak di dalamnya.
Profesor Van Vollenhoven di Leiden membela hak bumiputera atas tanahnya menurut hukum adat dalam buku karangannya yang sangat menarik De Indonesier en zijn grond. Di atas landasan itu Indische Vereeniging dalam tahun 1921 menyebut dirinya Indonesier, orang Indonesia, dan menamakan TanahAirnya Indonesia.
Cita-cita tentang persatuan bangsa, nama sendiri Indonesia dan non-kooperasi terhadap pemerintah Kolonial dipropagandakan secara intensif dengan surat kepada kenalan dan kawan-kawan di Tanah Air, yang konsekwen diberi nama baru “Indonesia”. Majalah Hindia Poetra setelah diambil kembali dari penerbitan Indonesisch Verbond diteruskan setahun lamanya sebagai majalah Indonesische Vereeniging. Sesudah itu namanya diganti menjadi Indonesia Merdeka.
Tahun 1925 nama Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Dalam tahun itu, setelah nama Indonesia rata-rata diterima oleh pergerakan rakyat di Tanah Air da cita-cita “Persatuan Indonesia” makin hari makin meluas diterima di Tanah Air, Perhimpunan Indonesia menunjukan pula propaganda keluar Nederland. Yang ditujunya supaya nama Indonesia diakui orang di luar negeri, terutama pada pergerakan yang progresif dan humaniter. (YGGB, 1973: 200).
Spirit perjuangan Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland menggema di Tanah Air. Akibatnya, pada 15 Nopember 1925, Mohammad Tabrani pemuda asal Pamekasan, Madura tamatan OSVIA Bandung terpilih sebagai Ketua Panitia Persiapan Kongres Pemuda. Maka Kongres Pemuda I 30 April-2 Mei 1926 pun terlaksana di Jakarta.
Kongres Pemuda Indonesia I, 30 April-2 Mei 1926 itu dipimpin M.Tabrani ketua, Sumarto wakil ketua, Djamaludin sekretaris dan Suwarso bendahara. Kongres yang mengawali persatuan nusa, bangsa dan bahasa. Dalam panitia duduk saudara-saudara: Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, M.Tabrani, ditambah dengan saudara Hamami, Sanusi Pane, Suwarso, Djamaludin Adi Negoro, Sarbaini, Djamaludin Adinegoro, dan Mohammad Yamin.