Kita bisa menyaksikan fenomena sosial sekarang. Tidak sedikit menunjukan gejala orang yang rapuh mentalnya. Sikap frustasi dan mengakhiri hidupnya. Begitu pula anak-anak menunjukan sikap yang kurang terpuji. Bahkan terjerumus pada perilaku tidak berbudi pekerti. Ereka disekolahkan, tetapi berperilaku seperti tidak berpendidikan. Berita di koran atau televisi, membuat orang yang masih punya nurani teriris hatinya. Sedih.
Padahal mereka anak-anak masa depan. Pelangsung pelanjut orangtua dan keluarganya. Dimana dalam ilmu sosiologi (kemasyarakatan), keluarga adalah inti (sel) dalam sebuah tatanan hidup masyarakat. Kumpulan keluarga-keluarga itulah yang membentuk sebuah jama’ah (komunitas sosial). Keluarga, asal kta kawula (kulo) dan warga, artinya warga kami. Menunjukan adanya komunitas sosial yang terdiri dari kumpulan individu yakni anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan ak-anaknya.
Jika melihat fenomena sosial di atas, pantas hati kita bertanya,” Akan bagaimanakah nasib anak bangsa ini?” Atau dalam sudut pandang Islam,” Hendak dibawa kemana arah nasib keluarga kita ini?”’
Gejala patologi sosial (penyakit sosial) ini memang dipicu faktor eksternal. Salahsatunya yang umum jadi alass=an faktor sosial ekonomi. Namun kalau kita renungkan, penyakit sosial ini pun sesungguhnya bisa redam, jika ada kekuatan internal dalam rumahtangga atau keluarga tersebut.
Pemahaman diri akan hakikat hidup berkeluarga amat penting, meredam penyakit sosial ini. Karena pemahaman akan tujuan hidup berumahtangga (berkeluarga) menjadi “rem” atau bersifat preventif dalam mencegah terjadinya perilaku menyimpang dari tatanan sosial dan agama tersebut di atas.
Karena tu niat atau motivasi membangun keluarga yang dimulai engan membuka pintu gerbangnya, yakni pernikahan amat menentukan. Dalam bahasa agama,” innama al amalu bi an-niyati” (sesungguhnya amal perbuatan tu tergantung niatnya), (HR Bukhari-Muslim).
Islam mengajarkan pernikahan adalah bagian dari ibadah. Bahkan disebutkan pernikahan itu sebagai setengah daripada ibadah. Adapun sisanya (setengahnya) lagi adalah kesabaran. Artinya dalam menjalani kehidupan berumahtangga kita harus siap menjalaninya dengan nilai kesabaran.
Apa arti kesabaran? Sabar adalah sikap aktip. Sabar bukanlah bermakna pasip, diam atau menunggu. Demikian bila mengutip istilah cendikiawan muslim, Ali Syari’ati. Sayangnya, dalam pola pikir masyarakat kita, masih banyak yang beranggapan bahwa sabar itu dmaknai pasiv (diam atau nrimo). Ini sebuah kekeliruan berpikir. Karena hakikatnya sabar adalah usaha, ikhtiar, perbuatan aktip. Sedangkan perbuatan setelah berbuat aktip (sabar) untuk hasilnya kita serahkan kepada Allah, inilah tawakal.
Dengan demikian, untuk membangun keluarga yang berkualitas butuhkan kesungguhan sejak awal merintisnya. Persiapan menimba ilmu rumahtangga amat penting. Sebuah ungkapan Imam Ali kwh,” Jadilah orangtua sebelum kalian berumahtangga”. Padahal yang dimaksud ungapan beliau ini menunjukan betapa pentingnya ita memiliki “ilmu rumahtangga” sebelum membangun keluarga. Betapa pentingnya luruskan nat atau motivasi pernikahan aias membangun keluarga.
Sebab jika motivasi (niat) membangun keluarganya karena kedar orongan norma sosial misalnya takut disebut “jomblo”, atau karena menikah dan berkeluarga itu sudah jadi tradisi atau aturan sosial-masyarakat, dengan penilaian positip dibandingkan melajang. Sikap seperti ini berbahaya. Karena membangun keluarga tidak didasari “ilmu” atau pemahaman yang benar menurut agama.
Karena dalam ajaran agama (baca. Islam), membangun keluarga atau rumahtangga Islami adalah bagian dari ibadah yang bersifat sakral. Ada pertanggungjawaban individu dan sosial. Bukan sekedar bertanggungjawab terhadap orangtua pasangan hidup kita. Tapi hakikatnya ada tanggungjawab spiritual terhadap sang Pencipta, Allah swt.