Mohon tunggu...
syamsud dhuha
syamsud dhuha Mohon Tunggu... profesional -

Pemuda, pembelajar dan penulis biografi lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wow... Pascapileg, Booming "Suara Dicuri"

5 Mei 2014   19:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13992693051864868520

[caption id="attachment_306112" align="aligncenter" width="300" caption="kotak suara hilang (sumber tribunnews)"][/caption]

"Suara saya dicuri, suara dicuri rekan separtai, suara hilang" begitulah kalimat yang tiba-tiba sering terdengar pasca pemilihan legislatif (Pileg) 2014. Suara tersebut kebanyakan disuarakan oleh para calon legislatif yang suaranya kurang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP). lantas menjadi pertanyaan penulis, dicuri siapa, hilang dimana dan salah siapa?

Mari kita telisik bersama prosedur penghitungan pileg 2014 mulai dari TPS hingga KPU pusat. Para caleg dan partai di setiap TPS memiliki saksi masing-masing. Dimana saksi berhak memegang form C1 untuk perolehan suara caleg dan partai, ada juga untuk DPD. Dari proses penghitungan di TPS, petugas PPS melakukan rapat pleno. Disini caleg dan partai bisa melakukan protes mulai dari C1 sampai DPT jika ada ketidaksamaan data. Dari PPS suara dibawa ke pleno PPK, disini harusnya dibatasi permasalahan yang dibahas bukan DPT tapi data C1 sehingga proses tidak berlarut. Begitu proses selanjutnya KPUD kabupaten/kota ke KPUD provinsi hingga KPU pusat.

Ada sekitar 5 tahap rapat pleno yang dilalui dalam penghitungan suara untuk DPR RI dan DPD RI sebelum dibawa ke KPU Pusat. Kebanyakan para caleg tidak memiliki saksi di semua TPS, itu salah siapa? Yang parah lagi caleg melalui saksinya tidak memegang form C1, hanya catatan rekap untuk dirinya, kembali itu salah siapa? Pencurinya siapa dan tempat hilangnya dimana?

Penulis hanya takut, para caleg tingkat DPR RI dan DPD RI tidak paham secara keseluruhan peraturan Pileg 2014 ini. Ketidakpahamannya kemudian diluapkan pada tuduhan pencurian suara tanpa memegang bukti, jatuhnya fitnah.

Sementara untuk penyelenggara pemilu, sebaiknya dibuat peraturan berjenjang pembatasan permasalahan yang dibahas dalam pleno. Seperti yang penulis ungkapkan di atas, ditingkat PPS dan PPK dibatasi masalah pembahasan C1 dan DPT, KPUD daerah pembahasannya apa, KPU provinsi ditentukan apa. Hal ini untuk melakukan efisiensi waktu dan tidak membahas masalah C1 sampai DPT di pleno KPU pusat. Lantas apa fungsi pleno dibawahnya?

Sistem Pemilu

Sistem Pemilu proporsional terbuka banyak caleg yang mengatakan paling buruk bahkan ada analogi seperti perang saudara di Suriah. Sehingga ada wacana dikembalikan ke sistem proporsional tertutup. Menurut hemat penulis bukan karena sistem yang dipakai tetapi rakyat benar-benar menunjukkan pemegang kedaulatan. Tidak ingin dibohongi lagi dengan janji-janji, rakyat meminta "didepan". Hasilnya uang yang berbicara, logistik caleg ikut menentukan.

Lantas bagaimana menyikapi hasil Pemilu 2014? Ada dua opsi yakni menerima hasil dengan memberikan catatan dan menolak hasil pemilu secara keseluruhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun