Perkembangan teknologi mengandung dua sisi mata uang. Ditangan orang berakhlak teknologi memberikan maslahat, sebaliknya ditangan orang jahat akan membawa kekacauan. Mudahnya mendapatkan akses informasi dimanfaatkan segelintir orang yang tergabung dalam Muslim Cyber Army (MCA) yang telah ditangkap kepolisian beberapa waktu lalu.
Sebenarnya peredaran hoaks untuk kepentingan tertentu sudah terasa sejak berlangsungnya Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Berita hoaks ada yang menjadikan sebuah komoditi yang sungguh nyata ada pabrikannya. Dari dunia nyata merangsek ke dunia nyata bahkan disampaikan di mimbar-mimbar mulia keagamaan sebagai rujukan. Masyarakat awam yang tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukan klarifikasi (tabayun) mempercayai karena masifnya peredaran berita hoaks tersebut.
Kepolisian bergerak cepat dengan membentuk tim cyber untuk menangani kasus ini. Sebelum MCA ada kelompok saracen yang terlebih dahulu dijebloskan ke penjara. Pihak-pihak tertentu yang dugaan penulis pernah bersentuhan atau memesan satu kekacauan ke MCA ikut khawatir dan gelisah sehingga melakukan statemen pembelaan.
Berita hoaks memang sangat menggoda untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah jika bertemu dengan bogir-nya. Angka 'pasaran' setiap satu pemesanan untuk menghancurkan orang atau kelompok tertentu menurut sumber yang pernah mendapatkan order kisaran Rp 200 - 300 juta. Agama, lagi-lagi jadi isu seksi apalagi untuk kepentingan politik tertentu.
MCA sejatinya sangat menghina agama islam yang suci untuk tindakan penyebar fitnah karena dalam ajaran islam sangat berdosa bahkan dosanya lebih besar daripada membunuh. Dampanya bukan hanya nama baik target, tapi harga diri, keluarga, lingkungan dan seluruh aspek kehidupan seakan mati. Â Miris dan kaget salah satu pelaku yang ditangkap MCA berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakart. Satu kejahatan apalagi fitnah akan menegasikan atribut yang sudah melekat. Bahkan si dosen menurut info penyidik telah menebar 150. 000 berita hoaks.(sumber kompas)
Polisi pun melakukan pengembangan kasus tapi masih menyasar pelaku produsen hoaks belum pemesan. Karena jejak digital menurut teman yang ahli selalu ada dan sulit dihapus karena sistem enscripsi dan algoritma media sosial sangat rumit. Bahkan karena khawatirnya teman penulis ini jarang berselancar dan menitipkan data foto narsisnya di media sosial. Menurutnya jika memiliki kemauan sangat mudah bagi kepolisian menangkap produsen komoditi jahat ini. Dan mudah-mudahan kepolisian mengungkap pemesan berita hoaks walaupun orang besar, sebesar apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H