Mohon tunggu...
syamsud dhuha
syamsud dhuha Mohon Tunggu... profesional -

Pemuda, pembelajar dan penulis biografi lepas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wajah Pendidikan Nasional

3 Mei 2014   02:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_305662" align="aligncenter" width="300" caption="sumber sindonews"][/caption]

Hari ini kita memperingati hari pendidikan nasional. Sudahkah tujuan pendidikan sesuai dengan tujuan berbangsa? Tujuan pendidikan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Para pendiri bangsa melihat kedepan penataan pendidikan yang berkarakter sesuai kepribadian bangsa. Bukan hanya kecerdasan otak yang diinginkan bangsa tetapi cerdas yang membawa kesejahteraan bangsa. Cerdas otak, cerdas emosional dan cerdas sosial itulah yang diterawang kelak dibutuhkan bangsa kedepan.

Sekarang kita lihat, sistem pendidikan nasional hanya mencetak cerdas otak sehingga menghasilkan robot-robot. Kurang cerda apa para pejabat yang terjerat korupsi, mereka lulusan kampus terbaik. Orientasi materialistik masih menguasai hampir semua lini pendidikan. Satu kampus kita per tahun meluluskan sekitar 5.000 mahasiswa, bayangkan ada ribuan sarjana dari kampus negeri dan swasta yang lulus. Di sisi lain, lapangan kerja yang ada tidak seimbang.

Belum lagi cara berpikir tentang perbedaan yang sudah terlanjur di doktrin untuk sama. Sejak sekolah dasar dengan seragam yang sama, jawaban yang sama tidak boleh berbeda meskipun memberikan keterangan. Ini sudah tertanam dalam alam bawah sadar sehingga terbawa hingga sekarang. Perbedaan dalam berkehidupan bangsa masih menjadi hal yang tabu.

Sistem pendidikan kita tidak pro rakyat miskin. Indikasi hal itu masih banyak keperluan sekolah yang tidak bisa di beli rakyat miskin. Meskipun ada program pendidikan terjangkau, namun kenyataan di lapangan banyak anak miskin yang putus sekolah. Beberapa bulan yang lalu bahkan orang nomor 1 di republik ini, Presiden Soesilo Bambang Yudhuyono (SBY) menemukan anak usia sekolah berjualan di pinggir jalan. Akses pendidikan dan sistem pendidikan yang membuat anak gembira bukan beban yang diinginkan.

Belum lagi sarana dan prasarana yang disamakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Iya bangunan sekolah yang dibantu oleh Kemendikbud mulai dari fisik kelas, cat, meubelers di Aceh dengan Papua sama. Menurut hemat penulis sebaiknya sesuai dengan nilai kebijakan lokal sehingga anak tidak kehilangan akar budaya.

Menata Anggaran 20%

Anggaran pendidikan memang secara prosentase sesuai dengan undang-undang yakni 20%. Namun di sini akal picik pejabat dimulai. Anggaran sebesar itu, tetap dana pengembangan pendidikan tidak lebih dari 10% sisanya dibuat belanja pegawai dan rutin.Padahal dengan anggaran tersebut jika dimaksimalkan bukan hanya mendapat akses 9 tahun melainkan bisa ke perguruan tinggi anak-anak miskin ini.

Anggaran 20% sebaiknya ditata kembali peruntukannya sehingga anggaran besar tersebut dinikmati anak-anak Indonesia seluruhnya. Sertifikasi guru juga sebaiknya ditinjau setiap tahun atau 2 tahun sekali. Mengapa? karena banyak guru yang menerima sertifikasi dibuat untuk meningkatkan "status sosial" dengan membeli mobil, rumah dll. Padahal dana tersebut diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas guru dengan sekolah di jenjang yang lebih tinggi atau mencari wahana pembelajaran yang inovatif. Sekarang guru mohon maaf hanya mengandalkan materi yang diberikan Kemendikbud tanpa ada improvisasi.

Sehingga seluruh stakeholder pendidikan, di mohon secara serius memikirkan aset masa depan bangsa yakni SDM melalui pendidikan. Pendidikan berkarakter lokal berkualitas internasional. Bukan di balik pendidikan internasional karena bahasa pengantar bahasa inggris dan melupakan budaya lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun