Jepang menjadi negara yang memiliki ambisi besar, pembangunan negara yang menyeluruh terutama pada sektor industri yang mengakibatkan pasokan sumber daya alam yang ada di negara jepang tidak dapat mencukupi pembangunan di negaranya. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan serta stabilitas ekonomi yang stabil, Jepang mencari sumber daya alam ke negara-negara Asia termasuk Asia Tenggara. Melalui ideologi “hakko ichiu” yang bermakna delapan penjuru satu atap, slogan ini diartikan sebagai salah satu keinginan jepang untuk menguasai Asia Tenggara. Hal tersebut dapat dikatakan merupakan sebuah ambisi yang sangat luar biasa mengingat sejak awal abad ke-20 kebanyakan negara di Asia Tenggara telah dikuasai oleh bangsa barat seperti Inggris, Belanda dan Amerika Serikat. Kependudukan Jepang di Asia Tenggara dimulai dengan adanya serangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 yang ditujukan kepada AS dan kedatangan Jepang di Semenanjung Malaya untuk menyerang Inggris. Kedatangan Jepang di Asia Tenggara melalui berbagai serangan penaklukan bertujuan untuk menguasai sumber daya alam untuk mendukung perang, menciptakan sebuah Lingkaran Kemakmuran bersama Asia Timur Raya, dan mengusir kekuatan kolonial Barat dari Asia.
Kemajuan dalam bidang industri membuatProses Pendudukan Jepang di beberapa wilayah seperti Indonesia (Hindia Belanda) yang telah diduduki Jepang pada Maret 1942, saat itu wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah administratif yaitu Sumatera, Jawa-Madura, dan Indonesia Timur. Jepang melihat bahwa Indonesia saat itu memiliki sumber daya alam yang kaya, terutama minyak. Jepang dengan cepat dapat menguasai sumber daya minyak dan perkebunan karet. Pada awalnya masyarakat menyambut Jepang sebagai pembebas dari jajahan bangsa barat, tetapi sentimen ini dengan cepat berubah seiring memburuknya kondisi ekonomi.
Pendudukan Jepang di Malaysia dan Singapura dimulai dengan serangan mendadak pada 8 Desember 1941, invasi ini dimulai dari wilayah Thailand utara dengan operasi amfibi di Kota Bharu, Kelantan. Kecepatan dan efisiensi serangan Jepang mengejutkan pertahanan Britania, yang tidak menyangka pasukan Jepang mampu melewati hutan dan rawa Malaysia dengan begitu cepat. Jatuhnya Singapura pada 15 Februari 1942, yang dijuluki "Gibraltar of the East", merupakan pukulan telak bagi Kekaisaran Britania. Filipina jatuh ke tangan Jepang pada awal tahun 1942. Jepang berusaha untuk memenangkan dukungan Filipina dengan menjanjikan kemerdekaan, tetapi pemerintahan militer yang keras dan eksploitasi ekonomi menyebabkan tumbuhnya gerakan perlawanan yang kuat. Jepang berusaha menerapkan kebijakan "Filipinisasi" dan program "Asia untuk Asia" untuk mendapatkan dukungan rakyat Filipina. Mereka mendirikan KALIBAPI (Kapisanan sa Paglilingkod sa Bagong Pilipinas) sebagai satu-satunya organisasi politik yang diizinkan, dan melakukan propaganda besar-besaran untuk mempromosikan "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya".
Kolonialisme yang dilakukan Jepang terhadap beberapa negara di Asia Tenggara menimbulkan dampak dari berbagai aspek. Dalam aspek pemerintahan sistem adanya sistem pemerintahan militer yang bersifat otoriter dengan kendali penuh oleh Jepang seperti contohnya di tingkat tertinggi, pemerintahan dijalankan oleh administrasi militer (gunseikanbu) yang dipimpin oleh seorang Gubernur Militer (Gunseikan). Struktur ini diterapkan di berbagai wilayah seperti Indonesia (Hindia Belanda), Malaya, dan Filipina. Jepang secara cerdik mempertahankan struktur birokrasi lokal yang sudah ada sebelumnya, namun menempatkan perwira-perwira Jepang sebagai pengawas di setiap tingkatan administrasi. Selain itu, sistem pemerintahan Jepang juga melahirkan sistem pendidikan baru, sistem pendidikan ini tak lain berisi mengenai doktrin yang kuat dalam rangka memperkuat pengaruh Jepang di Asia tenggara.
Dalam aspek ekonomi, pendudukan Jepang menerapkan sistem yang sangat eksploitatif untuk mendukung upaya perang mereka. Mereka mengambil alih aset-aset strategis seperti perkebunan, tambang, dan industri yang sebelumnya dikuasai kolonial Barat. Di berbagai wilayah, Jepang menerapkan kebijakan yang memberatkan seperti intensifikasi produksi bahan pangan, romusha (kerja paksa), dan kontrol ketat atas sumber daya vital seperti karet dan timah. Pengenalan mata uang baru oleh Jepang menyebabkan inflasi tinggi, sementara sistem autarki regional yang mengharuskan setiap wilayah mencukupi kebutuhannya sendiri semakin memperburuk kondisi ekonomi. Akibatnya, penduduk lokal mengalami penderitaan besar, termasuk kelangkaan bahan makanan dan barang-barang konsumsi, karena sebagian besar sumber daya dialihkan untuk kepentingan militer Jepang.
Meskipun Jepang mengusung semangat "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya", dalam praktiknya sistem pemerintahan dan ekonomi yang mereka terapkan lebih mencerminkan eksploitasi sistematis terhadap sumber daya manusia dan alam di wilayah pendudukan untuk mendukung mesin perang mereka. Sistem ini pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang memperlemah dukungan penduduk lokal terhadap pendudukan Jepang, terutama ketika kondisi perang mulai memburuk bagi Jepang.
Pendudukan Jepang di Asia Tenggara meskipun berlangsung singkat (1941-1945), memberikan warisan mendalam dalam hal mobilisasi massa yang mempengaruhi struktur sosial dan politik di kawasan ini hingga saat ini, periode ini menjadi titik balik penting yang mengubah cara masyarakat Asia Tenggara berorganisasi dan bermobilisasi. Di Indonesia, Jepang memperkenalkan sistem mobilisasi massa yang sangat terstruktur melalui berbagai organisasi. Sistem ini mencakup organisasi pemuda seperti Seinendan, organisasi keamanan seperti Keibodan, dan organisasi militer seperti PETA (Pembela Tanah Air).
Sementara itu di Malaysia dan Singapura, Jepang menerapkan sistem mobilisasi yang lebih ketat dengan fokus pada kontrol sosial. Pembentukan Kunrensho (pusat pelatihan) dan Kokuminkai (asosiasi rakyat) menjadi model bagi organisasi-organisasi massa di masa kemerdekaan. Sistem tonarigumi (rukun tetangga) dan tonari-kumi (rukun warga) yang diperkenalkan Jepang masih mempengaruhi struktur administrasi lokal di kedua negara hingga saat ini. Di Filipina, mobilisasi massa dilakukan melalui KALIBAPI (Kapisanan sa Paglilingkod sa Bagong Pilipinas) yang menjadi satu-satunya organisasi politik yang diizinkan. Sistem ini, meskipun bersifat represif, memberikan pembelajaran penting tentang organisasi massa yang kemudian diadaptasi oleh gerakan-gerakan politik pasca-kemerdekaan.
Warisan sistem mobilisasi massa Jepang juga terlihat dalam aspek militer. Pelatihan militer dan sistem organisasi yang diperkenalkan Jepang mempengaruhi pembentukan angkatan bersenjata di negara-negara Asia Tenggara. Disiplin militer, struktur komando, dan teknik mobilisasi cepat yang diajarkan selama pendudukan Jepang masih terlihat dalam organisasi militer modern di kawasan ini. Selain itu warisan kependudukan Jepang juga terlihat dalam bidang pendidikan, contohnya di Indonesia seperti, tradisi upacara bendera dan senam pagi. Bahasa Indonesia juga masih menyimpan banyak kosakata dari masa pendudukan seperti "romusha", "seinendan", dan "keibodan". Bangunan-bangunan administratif peninggalan Jepang juga masih dimanfaatkan sebagai kantor pemerintahan, hal ini menunjukkan bagaimana warisan fisik pendudukan terintegrasi ke dalam kehidupan modern di kawasan ini.
Pendudukan Jepang di Asia Tenggara merupakan periode penting dalam sejarah wilayah ini, yang memberikan dampak signifikan pada aspek sosial, politik, dan ekonomi. Proses pendudukan ini dimulai pada tahun 1942 dan selesai pada tahun 1945 seiring dengan kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Jepang memiliki ambisi untuk membangun Persemakmuran Asia Timur Raya, sebuah imperium yang akan mendominasi Asia. Mereka melihat Asia Tenggara sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam, terutama minyak bumi, yang dibutuhkan untuk mendukung ambisi militer mereka. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945 menandai berakhirnya pendudukan Jepang di Asia Tenggara. Pendudukan ini meninggalkan dampak yang mendalam pada wilayah tersebut, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi.
Akhir pendudukan Jepang di Asia Tenggara ditandai dengan penyerahan tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, setelah Kaisar Hirohito mengumumkannya melalui radio. Pasca penyerahan ini, pasukan Sekutu memasuki wilayah Asia Tenggara untuk melucuti senjata pasukan Jepang dan membebaskan para tahanan. Peristiwa ini menjadi titik balik penting bagi negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina untuk memulai perjuangan kemerdekaan mereka dari kolonialisme. Berakhirnya pendudukan Jepang juga menandai perubahan politik signifikan di kawasan ini, dimana negara-negara bekas jajahan mulai membentuk pemerintahan sendiri dan membangun kembali negara mereka setelah perang