Asal mula sejarah konflik ini berawal dari masyarakat Melayu Islam selatan Thailand yang berasal dari Kerajaan Langka suka atau yang sering disebut dengan Kerajaan Hindu dan Budha di bawah pimpinan Raja Maha Bangsa. Sekitar 755 Masehi, Kerajaan tersebut diserang oleh Raja Seri Wilayah yang berasal dari Palembang, Indonesia yang menyebabkan Raja Maha Bangsa Tewas.Â
Setelah beberapa saat dari kejadian tersebut, Raja Seri Wilayah sebagai raja baru memindahkan kerajaannya yang terletak di pedalaman ke tepi pantai yang mana menjadikan salah satu kerajaan dengan pelabuhan strategis dan maju, serta telah menarik pedagang dari Eropa dan Timur tengah untuk berdagang. Tempat strategis ini diduduki oleh berbagai bangsa seperti Malaysia, Indonesia, Brunei dan Singapura dan juga mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan.
Sejak tahun 1786 telah terjadi Revolusi Thailand selatan yang mana Kerajaan Patani jatuh ke bawah pemerintahan Siam yang dipimpin oleh Raja Chulalongkron. Untuk memastikan bahwa kekuasaan pemerintah Siam kuat dan dipatuhi, berbagai kebijakan dan peraturan telah diberlakukan.Â
Implementasi kebijakan telah menyebabkan masyarakat tidak puas dan solusinya adalah melalui pemberontakan terhadap pemerintah. Pada tahun 2004, Situasi kembali bergejolak ketika Thaksin Shinawatra mulai menduduki tampuk pemerintahan Thailand (dari 2001 hingga 2006).Â
Bentrokan antara pemerintah dan kelompok separatis yang memperjuangkan hak-hak mereka telah mengakibatkan banyak kematian dan cedera, termasuk dari pasukan keamanan dan warga sipil.
Hal ini juga menyebabkan Malaysia terpengaruh oleh ketidakstabilan negara tetangga yang mempengaruhi stabilitas negara melalui efek tumpahan dari insiden di Thailand selatan.Â
Kegagalan pemerintah Thailand untuk mengelola dan menyelesaikan kerusuhan menyebabkan penduduk yang terkena dampak bermigrasi ke negara tetangga untuk mencari perlindungan dan kehidupan yang lebih baik. Kehadiran orang-orang ini mampu mempengaruhi keamanan nasional dan bahkan menyebabkan kecemasan di antara orang Malaysia sendiri. Â
Konflik kekerasan di Thailand selatan terus berlanjut. Dinamika konflik ini dipengaruhi oleh respons pemerintah pusat. Thailand Selatan adalah basis  Partai Demokrat dari tahun 1975 hingga 2005.Â
Akibatnya, selama pemerintahan Chuan Leekpai dan Abhisit Vejjajiva, mereka mempertahankan agen SPBAC, CPM-43, dan terlibat secara konstruktif dengan penduduk Thailand selatan. Badan-badan SBPAC dan CPM-43 adalah karya Prem Tinsranonda, dan ia berasal dari militer dan tidak memerlukan dukungan  rakyat untuk  menjadi perdana menteri.Â
Selama pemerintahan dan pemerintahan Partai Demokrat, tingkat konflik kekerasan di Thailand selatan cenderung menurun. Setelah runtuhnya pemerintahan Chuan Leek Pai pada 2001 dan penggantinya Thaksin, jumlah insiden kekerasan meningkat dari 50 pada 2001 menjadi 75 pada 2002 dan 119 pada 2003.
Korelasi menurunnya konflik kekerasan dengan sikap akomodatif dari Partai Demokrat terhadap penduduk Thailand Selatan dapat dijelaskan dengan pendekatan institusionalism terutama terkait dengan pemilu. Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama.Â