Pendahuluan
Di dalam sistem peradilan kita di Indonesia, salah satu peran yang diberikan amanat agar terjadi keadilan bagi pihak yang bersengketa adalah hakim. Seorang hakim diberikan wewenang untuk mengetuk palu sebagai tanda bahwa suatu keputusan berkeadilan telah dibuat. Dari sini kita dapat menduga bahwa seorang hakim adalah orang yang mempunyai peran sangat penting dalam mengambil keputusan suatu perkara. Di dalam artikel ini kita mendiskusikan secara singkat topik mengenai hakim.
Asal Kata Hakim
Menurut KBBIÂ (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata "hakim" berarti pengadil; pengadilan; orang yang mengadili perkara; orang pandai-pandai, budiman, dan ahli; juri; atau orang bijak.
Kata "hakim" ini sebetulnya adalah kata asing, yaitu dari bahasa Arab, namun sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Asal katanya yaitu "hakama-yahkumu," yang artinya "memutuskan."
Sebetulnya kata "hakim" termasuk ke dalam jenis kata nomina (atau kata benda). Banyak kata benda di dalam Bahasa Indonesia dapat berubah menjadi kata kerja (verba) dengan menambahkan imbuhan (awalan dan akhiran), misalnya menghakimi, dihakimi. Meski demikian untuk kata "polisi" tidak lazim digunakan dengan "memolisi" atau "dipolisi." Ataupun untuk kata "jaksa" tidak lazim pula "menjaksai" atau "dijaksai."
Di negara-negara Arab istilah untuk orang yang bertugas membuat keputusan hukum disebut "Qadhi." Sedangkan kata "Hakim" digunakan untuk seseorang yang memutuskan atas perbuatan atau wasit, misalnya hakim garis.
Kekuasaan Kehakiman
Menurut ajaran Trias Politika (oleh Montesquieu), bahwa kekuasaan dipisahkan ke dalam 3 kategori, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan, kekuasaan eksekutif diberi kewenangan untuk melaksanakan peraturan, sedang kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk memutuskan perselisihan peraturan atau hukum.
Bahwa Indonesia adalah negara hukum, dinyatakan di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3, di mana pelaksanaan kekuasaan yudikatif diselenggarakan oleh kelembagaan Mahkamah Agung (MA) yang dibantu oleh segenap badan-badan peradilan di tingkat bawahnya.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diberlakukan dan sekaligus mencabut undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun 2004. Di dalam undang-undang baru dijelaskan, bahwa kekuasaan kehakiman mencakup di dalamnya peradilan-peradilan: tata usaha negara, militer, umum, agama, dan Mahkamah Agung, serta Mahkamah Konstitusi.
Badan-badan peradilan ini diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan, mengadili, dan membuat putusan perkara pidana dan perdata untuk peradilan umum. Untuk perkara orang beragama Islam adalah peradilan agama, sedang peradilan militer untuk perkara pidana militer, sedangkan peradilan tata usaha negara untuk sengketa tata usaha negara. Sementara itu Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang.