Mohon tunggu...
Sri WahyuniS
Sri WahyuniS Mohon Tunggu... Novelis - Seorang guru dan penulis novel. Ingin menjadi perempuan yang mampu memberikan bacaan untuk penyuka genre tulisan yang disajikan.

Menulis adalah cara terbaik untuk melegakan hati dan menghibur diri. Otak juga seakan punya asupan untuk dikeluarkan menjadi tulisan yang berarti.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sepatu Usang yang Bukan Sepasang

2 Oktober 2023   11:27 Diperbarui: 2 Oktober 2023   11:43 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 1. Pemberian Ayah

Hari ini adalah hari pertamanya masuk ke kelas baru. Setelah libur panjang, akhirnya Adit berangkat sekolah memakai sepatu. Dulu, saat kelas satu dan dua ia hanya memakai sandal. Sepatu usang hasil ayahnya memulung dipakai dengan kepercayaan diri.

Langkahnya terlihat tidak sempurna. Bukan hanya karena sepatu itu terlalu besar bagi kakinya yang kecil. Namun, sepatu yang bukan sepasang membuatnya susah melangkah. Sepatu yang semuanya sebelah kanan membuatnya tidak nyaman. Setidaknya ini hari pertama bocah kecil itu memakai sepatu ke sekolah. Senang bukan kepalang.

Adit sampai di sekolah dengan semringah. Sepatu yang jauh dari kata layak, sudah cukup membuatnya bahagia. Di kelas tiga, hanya Adit yang tidak kebagian bangku. Terpaksa bocah dengan rambut tak disisir itu berdiri di belakang sembari menyandarkan tubuhnya pada tembok kelas.

Adit membuka buku lusuhnya. Sedari tadi tidak ada satu pun kata yang ditulis. Tinta pulpennya ternyata sudah habis. Tak ada teman yang bisa dipinjam olehnya. Kalau pun dia nekat pasti jadi olok-olok teman sebayanya. Terpaksa Adit hanya menyimpan semua pelajaran dalam otak.

Bu Asma yang melihat Adit tidak menulis, akhirnya bertanya juga, kenapa Adit tidak menulis. 

"Aku sudah menulis, Bu. Dalam otak ini." Adit sembari menunjuk ke kepala bagian samping.

"Otak manusia itu terbatas, Nak. Bisa saja kau lupa besok."

"Tidak, Bu."

"Ini Ibu pinjamkan pulpen. Kau tetap harus menulis. Sekarang kau duduk bertiga bersama Farhan dan Agus."

"Kami tidak mau, Bu. Adit Bau!" ucap Agus dengan lancang disambut tertawa semua murid.

"Adit berdiri saja, Bu. Adit sehat dan masih kuat berdiri."

Mendengar ucapan itu, Bu Asma merasa kalau dirinya tidak ada hari sebagai seorang guru.

***

Sudah kebiasaan setelah bel istirahat, murid laki-laki bermain sepak bola di halaman sekolah. Semua riang menendang dan berebut bola. Siang itu seperti biasanya, Adit hanya duduk di belakang gawang. Adit dilarang ikut bermain. Tugasnya hanya sebagai pengambil bola jika bola jatuh ke lubang bekas galian yang berair itu. Sekali lagi itu sudah lebih dari cukup. Meski bukan bagian dari salah satu tim yang bertanding.

"Adit, cepat ambil bola itu, jangan lama!" Agus berteriak dari tengah lapangan halaman sekolah. 

Air lubang yang selutut membuatnya tidak bisa cepat mengambil. Dengan susah payah ia berjalan pelan dalam genangan. Setelah dapat, ia tidak langsung melempar. Sedikit ingin berlama-lama merasakan memegang bola itu. Hingga membuat semua temannya marah. 

"Adit, cepat!" Farhan melempar sebuah batu ke lubang yang menghasilkan cipratan air yang mengenai baju juga wajahnya. 

Adit melempar bola itu, kemudian melangkah keluar dari lubang. Membuka bajunya dan menjemur di pagar kayu. Mungkin dengan cara ini bajunya bisa kembali kering saat jam masuk sekolah nanti. 

Permainan kembali berjalan seru. Gol demi gol lahir dari kaki-kaki kecil. Semua tertawa riang saat merayakan gol. Bak pemain kelas dunia, selalu saja ada selebrasi selepas timnya mencetak gol.

Bel pulang sekolah berbunyi. Itu saatnya Adit melangkah pulang menuju rumahnya yang terpencil. Melewati pematang sawah, kebun-kebun dan setelah menyeberang sebuah sungai, itu tanda rumahnya sudah dekat.

Dari kejauhan, Adit melihat ibunya menyortir hasil memulung ayahnya. Setengah tidak percaya, benda bulat seperti bola ia lihat. Senang bukan kepalang bocah kecil melihat benda itu. Segera berlari agar cepat mendekati ibunya.

"Sini, Nak. Ayahmu dapat bola plastik dari tong sampah." Ibunya menyambut dengan senyuman. 

"ini buat Adit, Mak?" Adit tidak percaya bisa memiliki sebuah bola. 

"Iya, Nak. Maafin Ayahmu, ya? Belum nemu sepatu sebelah kiri. Untuk sementara kamu pake sepatu sebelah kanan semua dulu." Ibunya coba menghibur anak semata wayangnya. 

Bagi Adit tak apa berbeda warna. Asalkan sepatu itu sepasang, sebelah kanan dan kiri saja sudah cukup bersyukur. Namun, hari ini Adit tak akan mengeluh. Sedikit terobati oleh bola plastik yang baru ia miliki.

"Gimana sekolahnya? Asyik, ya?" Ibunya ingin tahu gelagat anaknya.

"Seru, Mak. Apalagi aku sekolah di tempat yang rame. Jadi males pulang."

"Guru dan temanmu, gimana?"

Adit langsung diam. Tak sepatah kata pun diucapkan karena tak ingin dirinya berbohong. Kalau menceritakan kisah tadi di sekolah, pasti ibunya sedih. Makanya dia ingin merahasiakannya dari ayah dan ibunya.

"Kenapa baju kamu terlihat kotor? Apa kamu jatuh ke sawah waktu pulang ke sini?" tanya ibunya.

"Bukan, Mak. Tadi aku ngambil bola di parit waktu di sekolah. Kan, aku berdiri di belakang gawang. Jadi nggak ada salahnya aku yang ambil," terangnya.

"Dit, bolanya dicuci dulu baru disimpan. Mungkin kotor banget. Nggak baik dibawa tidur," ujar ayahnya.

"Bener kata ayahmu. Pergi mandi sana. Kalau mau makan, ambil sendiri. Mak nggak sempat. Kerjaan Mak banyak hari ini."

"Beres, Mak. Aku mandi dulu. Udah laper," sahutnya dengan menenteng tas bekas hasil memulung ayahnya

***

Selepas magrib, Adit mencatat beberapa penjelasan dari Bu Asma siang tadi dengan buku bekas miliknya. Kebetulan ia mendapat pulpen di jalanan sepulang sekolah. Lumayan bisa membantu belajar. Ingin meminta pada ayah dan ibunya, merasa nggak enak. Anak seusia Adit, jarang menahan keluhan tentang kesedihan yang dialami. Namun, Adit bisa mengalahkan rasa itu dengan mengedepankan perhatian dan kasih sayang.

"Ini ada buku bekas dapet di halaman Bu Nababan. Kayaknya nggak dipakai lagi. Soalnya masih sedikit yang ditulis. Sayang kalau dibuang. Kan, bisa digunakan."

"Punya anak Bu Nababan, ya, Mak?"

"Ya, mungkinlah. Mak nggak nanya. Soalnya Beliau lagi ke Medan. Mak cuma beresin rumah, terus pulang."

Adit mengangguk, lalu melanjutkan pelajaran. Bocah kecil itu anak yang cerdas. Meski dengan segala kekurangan, otaknya tidak lemah. Padahal jarang sekali menikmati makanan bergizi. Kedua orang tuanya harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membayar kontrakan yang dihuni.

Ayahnya selain sebagai pemulung, juga mengerjakan apa yang disuruh beberapa warga. Kadang menyangkul, menanam padi, kuli bangunan, dan banyak lagi. Terpenting mendapat uang untuk sehari-hari.

Saat melihat halaman belakang buku bekas tersebut, ada beberapa kalimat yang membuat dirinya heran. Bukan hanya tulisan, tapi juga maknanya sangat dalam bila dibaca dengan hati. 

--bersambung--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun