Mahasiswa fakultas kedokteran Amerika telah menginvasi Kota Bandung. Mereka adalah sebelas mahasiswa semester tiga dari Fakultas Kedokteran University of California Amerika Serikat. Mereka diduga melakukan praktik kedokteran ilegal di Puskesmas, RS dan klinik swasta di Kota Bandung. Hal ini berlangsung selama tiga minggu, sejak minggu kedua Juni 2016.
Kegiatan berdalih training dan workshop, pemeriksaan Ultrasonografi-USG life saving, pemeriksaan pembuluh darah carotis, survei obat generik dan survei orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) kalangan remaja. Workshop diikuti oleh dokter-dokter Puskesmas dan difasilitasi Dinkes Kota Bandung. Apakah mahasiswa Amerika mempunyai kompetensi untuk meng-guru-i dokter Indonesia?
Mereka melakukan praktik langsung (hand on) dengan pasien. Hal ini yang menimbulkan dugaan tindakan malpraktik atau praktik ilegal. Ada peraturan yang dilanggar. Pihak otoritas gagal paham dengan peraturan terkait. Dokter asing masuk ke Indonesia tentu ada persyaratan, kriteria dan prosedur yang harus dipenuhi sesuai ketentuan.
Akankah hal ini dibiarkan begitu saja? Indonesia dijadikan tempat praktik mahasiswa asing. Indonesia jadi lahan Praktik Kerja Lapangan. Rakyat dijadikan kelinci percobaan bagi mahasiswa kedokteran asing. Rakyat tidak terlindungi.
Kegiatan tersebut menimbulkan pertanyaan; dari manakah mahasiswa asing mendapatkan ijin? Siapa yang mengeluarkan ijin? Bagaimana mereka mendapatkan ijin? Bagaimana peran Pemda Kota Bandung? Bagaimana peran IDI, Dinkes Kota Bandung? Di mana peran Kemenlu? Mengapa negara tidak hadir memberikan perlindungan kepada rakyatnya?
Indonesia adalah negara berdaulat dan negara hukum yang melindungi seluruh rakyatnya. Masuknya dokter/mahasiswa kedokteran asing seenaknya tanpa prosedur yang benar, dapat merendahkan martabat dan kredibilitas bangsa dan negara, mengganggu ketahanan nasional serta membahayakan NKRI.
Sesungguhnya, Indonesia mempunyai regulasi yang jelas bagi dokter asing. UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur dokter/dokter gigi WNI/WNA yang menjalankan praktik kedokteran di Indonesia. Mereka harus ter-registrasi di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Lembaga ini menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter/dokter gigi. STR sebagai jaminan negara atas kompetensi dokter/dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran. Bagi dokter/dokter gigi WNA dapat mengajukan 'STR sementara' dengan persyaratan tertentu. Namun, KKI tidak menerbitkan STR bagi mahasiswa S-1 kedokteran, apalagi mahasiswa WNA dari perguruan tinggi luar negeri.
KKI sebagai badan regulator telah mengesahkan Perkonsil No. 22 Tahun 2014 tentang Persetujuan Alih Iptek Kedokteran/Kedokteran Gigi. Sejauh ini, alih iptek kedokteran hanya boleh dilakukan oleh dokter/spesialis (bukan mahasiswa), dan harus memiliki STR dari negera asal (ps 7 butir 1c).
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Permenkes No. 67 Tahun 2013 tentang Pendayagunaan TK-WNA. Permenkes tersebut juga mensyaratkan 'STR Sementara' bagi dokter/dokter gigi WNA. Mereka harus memiliki kualifikasi minimal dokter spesialis/dokter gigi spesialis dengan kualifikasi tambahan atau yang setara. Sesuai Permenkes tersebut harus didahului dengan kerjasama bilateral antar kedua negara (G to G). Setelah itu mungkin saja dapat dilanjutkan kerjasama bilateral antar fakultas kedokteran (F to F).
Selain hal tersebut di atas, harus ada rekomendasi dari organisasi profesi (IDI) dan kolegium terkait. Selain 'STR Sementara' dari KKI, dokter WNA yang melakukan kegiatan pelayanan/baksos/alih iptek yang kontak langsung (hand on) dengan pasien harus memiliki license atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan rekomendasi dari Dinas Kesehatan sebagai otoritas setempat. Jika semua persyaratan tersebut dipenuhi, mereka dapat melakukan kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan hanya yang bersifat sementara di Indonesia.
Mengapa harus mengimpor mahasiswa asing? Mahasiswa kedokteran kita kekurangan pasien. Mahasiswa kita kekurangan rumah sakit/wahana pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia tentu berbeda dengan negara lain. Indonesia tidak mengenal pendidikan dokter dari FK luar negeri, tetapi pendidikan coas-nya di Indonesia. Perlukah lahan praktik mahasiswa kita diberikan kepada asing? Mengapa rakyat kita jadi bahan praktik mereka?