Dokter Layanan Primer (DLP) adalah produk politik. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Perlukah campur tangan DPR ataupun Presiden untuk mengesahkan spesialis DLP/ setara spesialis ? Campur tangan politik terhadap profesi kini semakin dalam. Hal ini akan menambah kekacauan bagi dunia kedokteran di Indonesia sekaligus dalam sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Betapa tidak, akan ada STRATABARU dalam profesi dokter di negeri ini yaitu Dokter Layanan Primer (DLP) yang terdapat dalam salah satu pasal dalam UU Pendidikan Dokter. Hal ini terjadi karena profesi dokter, dan pendidikan kedokteran digiring masuk dalam ranah politik. Sangat jelas karena UU itu sendiri adalah produk politik.
Intinya kelihatan bahwa pemerintah ingin menciptakan dokter yang super power. Dokter dengan berbagai kompetensi, dokter yang mengetahui ilmu kedokteran sedikit melebihi “dokter umum”. Dokter DLP diciptakan untuk menjawab ekspektasi masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu jelas merupakan suatu justifikasi belaka. Karena tidak begitu jelas mengapa dikatakan bahwa dokter (dulunya disebut dokter umum) yang ada sekarang ini tidak cukup mampu memberikan pelayanan kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer. DLP dianggap nantinya memiliki kompetensi menangani berbagai penyakit yang selama ini tidak mampu ditangani oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer.
DLP masih menjadi perdebatan antara pemerintah, masyarakat kedokteran dan mahasiswa. Pertama mengenai konsep DLP sebagai spesialis atau bukan. Terminologi Primary Care Physicianakan benar sebagai spesialis apabila masuk dalam kelompok Dokter Keluarga (Family Physician). DLP adalah setara spesialis hanya akan menambah “anomali” dalam pendidikan dokter di Indonesia yang selama ini sudah banyak anomali dalam sistem pendidikan di negeri ini.
Kedua tentang wajib/tidaknya bagi dokter umum menjadi DLP. Ketiga tentang lama pendidikannya. Keempat bagaimana pembiayaannya. Kelima, lembaga atau institusi penyelenggara pendidikan DLP. Keenam bagaimana standar pendidikan dan kompetensinya. Ketujuh kenapa harus DLP. Apa perbedaan antara DLP dengan dokter (dulunya disebut umum). Kedelapan siapa yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter DLP. Dan yang terakhir apakah lisensi (Surat Tanda Registrasi) DLP sama dengan dokter umum ?
Dokter DLP merupakan amanah UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. DLP mejadi perdebatan bahkan memicu konflik kepentingan secara vertikal dan horizontal. Pro dan kontra terjadi antara pemerintah dengan masyarakat kedokteran.
Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) telah mengajukan Judicial Review pengujian materi UU No. 20 Tahun 2013 terkait DLP ke Mahkamah Konstitusi. Hasil keputusan Judicial review MK telah menetapkan bahwa DLP tidak ada yang bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ini berarti bahwa DLP harus dilaksanakan sebagai amanah undang-undang.
Sebagai produk politik, DLP lahir dari kesepakatan politik antara Presiden dengan DPR. Lantas apakah DLP sebagai cabang ilmu baru dipaksakan lahir atas dasar keputusan politik? Dari aspek keilmuan, spesialis DLP belum diterima sebagai percabangan baru ilmu kedokteran. Para pakar pendidikan kedokteran mengatakan.DLP dapat diakui sebagai spesialis, jika terdapat sekurangnya 70 persen perbedaan dari cabang ilmu kedokteran lainnya. Perlu dilakukan kajian lebih dalam.
Pengesahan DLP sebagai spesialis tentu ada tatacara, prosedur atau mekanisme tersendiri. DLP sebagai spesialis tidak disahkan oleh DPR dan Presiden. Tetapi proses dan mekanismenya ada di organisasi profesi (IDI) dan kolegium sebagai pengampu ilmu.
Pro-kontra DLP masih terjadi. Dari 5 substansi RPP implementasi UU No. 20 / 2013 antara lain : FK/FKG, DLP, program internsip, dosen, dan etika profesi, pembahasan RPP DLP masih alot untuk mencapai kesepakatan. Menurut informasi, IDI telah walkout dari tim penyusun RPP DLP tersebut. IDI menarik diri dalam pembahasan RPP DLP selanjutnya.
Menurut Prof. I.O. Marsis Ketum PB IDI, dari 4 RPP yang lain dapat dibuat secara terpisah dan disahkan lebih dahulu menjadi PP tanpa menunggu RPP DLP. Mengingat DLP masih terjadi pro-kontra, bilamana dipaksakan IDI tidak bertanggungjawab jika ada masalah di kemudian hari. Konsep DLP diyakini saat ini sudah menyimpang jauh dari konsep awal yang disepakati. IDI menerima DLP, tetapi harus sesuai dengan amar keputusan Mahkamah Konstitusi.
Tersiar berita bahwa beberapa konsep DLP telah disepakati antara lain; DLP “bukan spesialis”tetapi hanya “setara spesialis”. DLP bukan wajibtetapihanya sebagai salah satu pilihan. Setara spesialis disini tidak begitu jelas, walaupun tertera dalam undang-undang. Dokter (dulunya disebut dokter umum) diberikan kebebasan untuk memilih. Apakah dokter akan menjadi dokter spesialis, menjadi dokter DLP atau tetap sebagai dokter umum. Lantas di tengah masyarakat akan ada 2 kelompok dokter yang bekerja di tingkat pelayanan primer. Tentu saja akan berpotensi terjadinya konflik.