[caption id="attachment_324791" align="aligncenter" width="620" caption="Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. KOMPAS.com"][/caption]
“Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu.” – Soe Hok Gie.
Matahari baru saja mengeluarkan sinarnya, namun kami para calon anggota Mapala UI telah berkumpul di Pusat Kegiatan Mahasiswa dengan semangat. Perasaan yang bercampur aduk menemani kami di pagi hari itu, sedih harus meninggalkan keluarga, senang disebabkan akan terus bersama dengan keluarga baru, jantung kami pun terpicu cepat karena akan menemukan petualangan baru. Pagi itu Sabtu, 25 Januari 2014 pukul 07.00, merupakan hari keberangkatan kami ke Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Banyuwangi.
Senin, 27 Januari 2014 pukul 13.00 kami memulai perjalanan di check point 1 yang berada di resort Pancur, TNAP. Beban lebih dari 30 kg yang kami panggul menemani perjalanan awal ini. Dengan nafas terengah-engah, kami mencoba menyesuaikan diri dengan cuaca di TNAP yang panas. Akibatnya beberapa anggota tim tertinggal di belakang. Setelah tim sampai di check point 2, hutan lebat sudah menanti di hadapan kami. Disinilah tantangan kami baru dimulai.
Setiap pagi kami di hutan diawali dengan briefing singkat dari penanggungjawab teknis. Medan yang berbukit-bukit dan vegetasi yang lebat menjadi santapan sehari-hari selama kurang lebih delapan hari tim berada di dalam hutan. Hal itu juga menjadi penghambat komunikasi antara tim besar dengan tim base komunikasi di resort Plengkung. Handy talkie yang dibawa sering kali tidak dapat digunakan. Di Desa Kalipait tempat kami mengadakan bakti sosial pun hanya ada satu provider yang bisa mendapatkan sinyal. Akibatnya, tim hanya memiliki satu alat komunikasi berupa telepon satelit yang disediakan oleh PT. Pasifik Satelit Nusantara.
Ketika hari mulai memasuki sore, tim segera mencari tempat camp. Perut yang mulai berteriak meminta diisi makanan harus tertahan dulu. Flysheet segera didirikan dan kegiatan masak-memasak pun dimulai. Saat evaluasi terkesan menjadi saat-saat yang sulit, karena harus melawan rasa kantuk yang mulai menghampiri. Namun evaluasi hari itu tetap harus dilaksanakan, agar tim dapat mengetahui kemajuan pada hari itu dan rencana pergerakan tim pada esok hari. Di akhir evaluasi, tidak lupa tim memberi laporan pada penanggungjawab logisitik mengenai persediaan air.
Saat itu sudah hampir satu minggu TNAP tidak diguyur hujan, sehingga cuaca yang dihadapi oleh tim begitu panas, ditambah lokasi TNAP yang berada di kawasan pesisir. Di hari ketiga, persediaan air yang dibawa semakin menipis, harapan untuk menemukan aliran sungai pun tidak dapat terwujud, karena sungai yang berada di hutan TNAP saat itu hampir semuanya tidak dialiri air. Di hari kelima, tim mendapatkan hadiah. Hujan yang dinantikan mengguyur camp kami malam itu. Hujan yang mungkin bagi sebagian orang adalah bencana, bagi kami adalah berkah. Tim segera menampung air hujan untuk dijadikan sebagai persediaan air.
Di hari-hari terakhir perjalanan, air kembali menjadi masalah yang krusial. Perjalanan susur pantai sejauh 12 km dari exit point di Pantai Ngente hingga Pantai Plengkung hanya bermodalkan tekad dan 1 botol air minum ukuran 1,5 liter untuk satu kelompok yang berisi lima sampai enam orang. Hingga akhirnya tim berhasil sampai di base komunikasi di Pantai Plengkung pada sore hari. Perjalanan dilanjutkan pada keesokan harinya menuju Desa Kalipait, Kecamatan Tegaldlimo, tempat tim akan melakukan bakti sosial di desa tersebut.
Medan yang sulit, cuaca panas yang tidak bersahabat, persediaan air yang pas-pasan, dan kondisi fisik yang semakin menurun dari hari ke hari menjadi tantangan bagi tim. Meskipun tantangan kami cukup berat, semangat kami untuk mendokumentasikan potensi alam di TNAP tidaklah surut. Dari hutan kami mendapatkan pelajaran yang tak ternilai. Kita dapat belajar bagaimana hidup di dalam keterbatasan dan bagaimana menghargai kehidupan. Namun dalam keterbatasan itu, kita harus tetap bersyukur dengan apa yang dimiliki dan tetap melaksanakan tanggung jawab yang ada. Karena di dalam keterbatasan, kita dapat menemukan kebahagiaan lain yang tidak dapat tergantikan oleh apapun.
Oleh:
Irene Swastiwi Viandari Kharti (CAM: 050)
Penulis adalah salah satu calon anggota Mapala UI di Badan Khusus Pelantikan 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H