Tulisan ini berangkat dari viralnya unggahan inisial MF (21) Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Surabaya yang menjadi korban pelecehan seksual bernama “Gilang” di twitter.
Pelaku memiliki kelainan seksual, yakni fetish terhadap responden yang terbungkus kain hingga merasa sesak dan tertekan. Gilang juga merupakan seseorang yang memiliki kelainan orientasi seksual, yang mana ia tertarik bukan terhadap perempuan melainkan terhadap laki-laki (homoseksual).
Mencermati fenomena viral tersebut, rasanya tak asing di zaman sekarang ini mengetahui bermacam-macam fetish yang dimiliki seseorang di luaran sana. Dahulu, fetish dianggap sebagai gangguan kejiwaan karena terangsang terhadap objek dari hasil fantasi seksual seseorang. Namun seiring berjalanya waktu, fetish dianggap hal yang lumrah bagi khalayak milenial.
Sama halnya dengan fetish, istilah kekinian lain seperti Cuddle, Friend With Benefit (FWB), One Night Stand (ONS), Kissing, Foreplay, dan lain sebagainya telah dianggap wajar pada tahun 2019 – 2020 ini.
Dampak dari ‘kewajaran’ istilah-istilah tersebut menggiring kaum milenial, baik yang sudah di atas 18 tahun maupun yang belum, menjadi penasaran dan ingin mencobanya. Seolah-olah mereka menjadi keren ketika telah melakukan hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Nilai moral dan agama sudah tidak mampu lagi memeluk para kaum milenial di tengah-tengah masifnya informasi di dunia maya. Kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas rentan menimbulkan “Married by accident” atau bahkan fatalnya menimbulkan kegiatan aborsi.
Mengapa hal ini terjadi? Karena dinding pemisah pergaulan remaja dengan kegiatan seks sudah sangat tipis. Kurangnya Sex Education di masyarakat pun menjadi penyumbang dalam meningkatnya kasus ‘Hamil di Luar Nikah’ yang dialami perempuan-perempuan Indonesia.
Banyak korban mengaku bahwa ia tak paham konsekuensi dari perbuatan seks yang ia lakukan. Tentu hal ini disebabkan karena kurangnya sex education.
Para orang tua dan masyarakat masih menganggap tabu apabila membicarakan soal seks pada anaknya. Alih-alih menjaga atau melindungi sang buah hati dari paparan hal negatif justru anak akan semakin ‘kepo’ dengan hal-hal tersebut.
Alhasil anak akan mencari tahu sendiri dengan berselancar di dunia virtual, yang mana tanpa pengawasan dari orang tua. Lantas sejak kapankah waktu yang tepat memberi sex education terhadap anak?