Pukul enam sore aku sudah di rumah. Setelah seharian mengikuti perkuliahan dan menyelesaikanurusanyang harus kuselesaikan hari itu juga. Kemacetan Jakarta menyedot semangatku yang sudah habis-habisan kupompa seharian. Pikiran dan tenagaku kering kerontang, menguap oleh panasnya iklim alam dan psikososial IbuKota. Tubuhku lemas.
Usai meneguk segelas air dingin,kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Kupejamkan mataku perlahan-laham. Sepertinya gerbang mimpi sudahterlihatdi ujungkesadaranku. Namun,tiba-tibaakuteringat janji yang harus kutepati pada pukul tujuhmalam. Janji ituseperti rambu kuldesak yangmenunda perjalananku menuju gerbang mimpi yang sudah tinggal selangkah lagi. Janji itu sebenarnya bisa saja kubatalkan karena kondisi tubuhku yang sedang ingin dimanja.
“Apalah artinya mengorbankan satu janji untuk memanjakan tubuh ini”, bisikansuara di kepalakumencobaiku untuk membatalkan janji.
Namun, bagiku janji adalah janji. Satu kata ini tidak akan bermakna apa-apa jika tidak ditepati. Saat ini dunia dipenuhi oleh kata-kata yang sudah kehilangan maknanya. Dan aku tidak ingin menambahkansatu kata lagi. Aku ingin memberi sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata, apapun bentuknya. Ini akan menjadi tekadku. Para pemimpin bangsa, para ilmuwan, bahkan para nabi atau siapapun yang dianggap pahlawan dan semua orang-orang hebat yang bijaksana bermodalkan hal itu. Yaitu melakukan apa yang mereka ucapkan.
Lalu kubuka mataku, kuangkat tubuhku dari tempat tidur dan bergegas berdiri. Kubasuh mukaku dengan air untuk sekedar sedikit memberi kesegaran. Kupersiapkan segala hal yang berhubungan dengan kegiatan mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak tingkat Sekolah Dasar (SD) yang kurang mampu di daerah kumuh dan miskin. Tempatnya tidak jauh dari rumahku, sebab ini adalah program salah satu teman dekatku yang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Aku biasa memanggilnya “Ade”. Dialah dalang yang mengurus segala sarana dan administrasi program pendidikan gratis ini. Aku hanya menyumbangkan diriku sebagai tenaga pengajar sukarela.
Pada awal aku menjadi tenaga pengajar sukarela, susah sekali mengatur dan membimbing anak-anak kurang mampu yang terkenal “bandel” itu. Mereka ada dua belas orang. Aku juluki mereka “dua belas bintang kecil”. Tapi, tidak semua dua belas bintang kecil itu bandel dan jahil, ada juga beberapa dari mereka yang antusias mengikuti pelajaran. Beberapa dari mereka yang tadinya sulit diatur, akhirnya mau mengikuti irama yang aku terapkan di dalam kelas. Yang membuat aku kagum terhadap mereka adalahsikapyangselalu memperlihatkan keceriaan meskipun mereka hidup jauh dari kemapanan apalagi kemewahan.Kebanyakan orang tua merekaberprofesi sebagai buruhpabrik tahu. Di negeri ini, apatah mungkin para pekerja kasar pabrik tahu memiliki kemewahan?
Dalam kondisi yang jauh dari kemewahan, perlahan-lahan aku mencoba memberikan nuansa kebersamaan. Guru dan murid ibarat dua sisi mata uang. Mereka berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Kami berusaha untuk membangun hubungan itu dan menepis stigma bahwa guru bukan malaikat yang tidak pernah salah, dan murid bukan kerbau yang selalu patuh jika diperintah.
Nuansa inilah yang kami ciptakan di dalam kelas kecil kami, yaitu sebuah bangunan kecil yangdikelilingi gedung megah nan mewah, terletakpersis di pinggir kali Krukut. Bangunan itu berukuran kira-kira dua kali dua meter. Di dalamnya ada sebuah papan tulis tua dengan kain kusam sebagai penghapusnya. Fasilitas di ruangan itu memang seadanya saja. Pintunya sudah reot. Dan karena posisinya yang sudah miring, pintu itu bisa menutup sendiri sambil menghasilkan suara yang menyeramkan. Atapnya adalah plafon yang sudah keropos dan bolong-bolong, dan suatu saat bisa saja menimpa kepala kami. Tapi semangat murni para murid-murid itu mampu mengusir kekhawatiran gurunya akan bahaya itu.
Sebelumnya, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku untuk menjadi seorang guru.Alasannya sangat sederhana, karena aku tidak suka digurui apalagi menggurui?! Namun pada saat itu aku hanya ingin melakukan sesuatu agar orang lain bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan apa yang pernah aku dapatkan.Sudah menjadi rahasia umum bahwa di negeri ini hanya orang-orang‘golonganmampu’yang bisa mengenyam pendidikan layak. Padahal berdasarkan undang-undang, pendidikan adalah hak seluruh warga negara. Melihat kondisi ini, aku jadi ingat ucapan Ade sahabatku itu. Bahwa sepertinya di negeri ini undang-undang dan kenyataan seperti minyak dan air. Akusangat setuju dengan itu.
Masih teringat jelas sebuah kenangan yang tidak pernah aku lupakan dari pengalamanku bekerja sebagai tenaga pengajar sukarela. Saat aku sudah mulai disibukkan dengan kegiatan perkuliahan dan organisasi di kampus, aku jadi sering terlambat datang mengajar. Bahkan beberapakali aku absen mengajar sejak aku memasuki semester penyusunan skripsi. Oleh sebab itulah, akhirnya aku putuskan untuk memilih fokus pada skripsiku dan berhenti mengajar. Aku membicarakan hal itu pada Ade, dan ia bisa mengerti hal itu.
Kemudian pada pertemuan terakhir, aku merahasiakan kepada murid-muridku bahwa itu sebenarnya pertemuan terakhir kami. Hal itu aku lakukan karena memang aku tidak ingin melihat raut wajah mereka apabila aku menjelaskan keputusanku untuk tidak mengajar lagi. Raut wajah yang sudah dibebani dengan kondisi sulit, dan harus merelakan hak pendidikannya yang direnggut oleh kondisi ekonomi yang carut marut di negeri ini.
Pertemuan terakhir itu kami isi dengan canda dan tawa. Aku juga berusaha untuk memberikan semangat kepada dua belas bintang kecilku. Sebab, aku mengetahui ada beberapa dari mereka yang masih bisa lanjut ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan ada pula yang terpaksa harus putus sekolah karena harus membantu orang tuanya. Aku katakan, bahwa lanjut ataupun tidak lanjut ke SMP,apa yang sudah dipelajari selama iniakan tetap menjadi modal mereka ke depan nanti.
Akhirnya aku menghilang dari mereka,aku serahkan sahabatku Ade untuk menjelaskan kondisiku kepada merekabahwaaku terikat janji untuk bisa menyelesaikan skripsi. Kadang akuberpikirbahwa keputusan yang aku ambil tidak adil bagi mereka.Namun, akupunterbentur dengan kenyataan bahwa aku juga harus menyelesaikan pendidikanku dan melanjutkan mimpiku.
Namun, ada hal yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Ternyata, selama satu bulan sejak pertemuan terakhir itu, kedua belas bintang kecil itu selalu datang ke rumahku ketika aku sedang tidak di rumah. Mereka datang pada hari dan jam yang sama dengan hari dan jam kami biasa mengadakan pertemuan. Setiap kali mereka datang ke rumah, mereka selalu menanyakan keberadaanku. Dan dari apa yang aku dengar melalui Ade, ada satu pertanyaan dari mereka yang belum bisa aku jawab,
“Kapankakak ngajar kita lagi?”
Jakarta, 20 September 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H