Mengawali tulisan ini, ada sebuah pertanyaan sederhana dua abad lalu di sebuah akademi di kota Dijon Perancis: apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan teknologi mampu membawa perbaikan moral manusia? Seorang bernama Jean-Jacques Rousseau dengan lantang menjawab,
“Tidak!”
Jawaban dan pertanyaan tersebut begitu sederhana, namun berdampak besar. Karya tulisnya untuk Akademi Dijon yang menentang arus itulah penyebab kemudian nama Rousseau banyak disebut-sebut sebagai seorang filsuf brilian dari Eropa.
Kegelisahan pikiran Rousseau tentang korelasi moral bagi kemajuan seni dan ilmu pengetahuan akan dapat dipahami jika kita melihat latar belakang lahirnya pemikiran itu. Pada awal abad ke-18, seni dan ilmu pengetahuan di Perancis sudah sangat maju jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Sikap masyarakatnya tidak lagi terbelenggu oleh ajaran-ajaran dogma, sebab logika sangat diutamakan pada saat itu.
Namun, di antara semua kemajuan itu, terukir sejarah kelam yang begitu ironis. Pada waktu yang bersamaan, ketidakadilan begitu mencolok. Para bangsawan dibebaskan dari pajak, sedangkan rakyat kecil yang umumnya kaum petani dikenai pajak yang begitu tinggi. Selain memeras darah rakyat, para penguasa yang korup itu cenderung menggunakan uang negara untuk mengadakan pesta-pesta yang mahal. Dalam kondisi seperti itu, Louis XIV dengan tegas ingin menancapkan absolutisme monarki dengan ucapannya I etat c’ est moi, atau “negara adalah aku”. Hal tersebut kemudian terakumulasi oleh lahirnya pergerakan kaum tertindas yang kemudian hari melahirkan Revolusi Perancis dan harus membayar ongkos mahal, yaitu pertumpahan darah.
Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa kemajuan seni dan ilmu pengetahuan teknologi sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai jaminan atas kemajuan di bidang moral. Mulianya peradaban manusia bukan ditentukan oleh tingginya nilai seni dari artefak yang diciptakannya, luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, maupun aplikasi teknologi yang ditemukannya. Dalam satu sisi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu justru mendorong manusia bersikap tidak pernah puas sehingga melawan sifat asal kemanusiaannya. Itulah sebabnya Rousseau menganjurkan agar manusia kembali ke alam, retour a lanature. Atau dengan kata lain manusia harus kembali belajar dari alam.
Adalah nilai moral yang asli dan benar-benar manusiawi justru ditemukan oleh manusia yang mampu belajar dari alam. Mereka yang menilai manusia sebagai manusia, bukan sebagai materi. Mereka yang dapat menemukan kebaikan dan kebenaran sejati yang bersifat universal bukan berdasarkan golongan, suku, ras, agama, atau sekte-sekte tertentu yang mengusung sifat egosentris.
Pembahasan nilai etika atau moral dalam koridor kehidupan hari ini sepertinya masih memerlukan pemikiran tersebut. Di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia yang kian hari semakin tidak menentu ini, maka pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah: dapatkah manusia kembali ke sifat dasarnya di tengah pesatnya persaingan teknologi dan globalisasi pada setiap aspek kehidupan manusia hari ini?
Nilai moral manusia yang senantiasa mengalami naik turun, tentu berbeda dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan terus berkembang. Hari ini, dialog ataupun seminar tentang moral selalu saja bersifat teori tanpa aplikasi. Inilah yang menghambat langkah perbaikan peradaban manusia. Nilai-nilai dasar moral yang kemudian berwujud budi pekerti itulah yang sesungguhnya akan menentukan kualitas peradaban manusia.
Seorang ahli geologi bernama Prof. Arysio Santos dalam bukunya berjudul “Atlantis, The Lost Continent Finally Found”, menyebutkan bahwa penduduk Atlantis yang pernah menjadi pusat peradaban dunia itu adalah penduduk yang kaya dan berbudi luhur. Mereka tidak mementingkan kekayaan. Mereka lebih mengutamakan kebijaksanaan dan kesalehan. Bencana banjir dan gempa bumi yang menghancurkan Atlantis justru terjadi karena lambat laun penduduknya terjebak oleh kesombongan, ambisi pribadi dan iri hati. Tentu, peristiwa ini menjadi pelajaran moral menakutkan bagi siapa saja yang bertindak melampaui batas.
Apabila manusia tidak menginginkan kemajuan yang diciptakannya sendiri menjadi bumerang bagi dirinya sehingga menurunkan derajatnya sebagai manusia. Maka mau tidak mau setiap saat dia harus berjalan pada landasan yang dipagari nilai-nilai moral yang dapat dipelajari dari alam. Terciptanya alam semesta berikut fenomena dan gejala-gejala yang ditampilkannya bukanlah tanpa sebab. Tidaklah segala sesuatu terjadi keluar dari dari skenario Sang Pencipta alam semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Dia-lah pencipta hukum yang berlaku universal agar dapat ditaati oleh setiap makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia. Agama apapun di dunia ini pasti mengajarkan kasih sayang dan perdamaian. Sehingga, upaya manusia mengaplikasikan nilai-nilai moral atau budi pekerti, sesungguhnya adalah cermin ketaatan manusia kepada Tuhan-nya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.